JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengkritik manajemen bencana pemerintah yang seperti pemadam kebakaran.
Padahal, sebagai salah satu negara dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi, politik anggaran mestinya bersifat responsif terhadap penanganan kebencanaan.
"Itu sebabnya, bukan waktunya lagi kita menggunakan manajemen pemadam kebakaran, yang lebih menekankan aspek tanggap darurat pasca-bencana. Politik anggaran kita mestinya menggunakan pendekatan bersifat preventif atau antisipatif," kata Fadli dalam keterangan tertulisnya, Jumat (4/12/2018).
Baca juga: Ada Potensi Korupsi, Menkeu Hati-hati Kucurkan Dana Penanganan Bencana
Fadli menyinggung pengurangan anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), serta Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).
Menurut dia, pengurangan anggaran tiga lembaga yang tupoksinya berhubungan dengan kebencanaan itu memang perlu dikritik.
Berdasarkan nota keuangan 2019, alokasi anggaran untuk BMKG, misalnya, adalah Rp 1,75 triliun. Angka itu jauh di bawah anggaran yang diajukan BMKG sebesar Rp 2,7 triliun.
Baca juga: Menkeu Tanggapi Curhat Sutopo soal Turunnya Anggaran Mitigasi Bencana
Pada tahun lalu, kebutuhan anggaran BMKG mencapai Rp 2,69 triliun, namun anggaran yang dialokasikan hanya Rp 1,70 triliun.
Pada tahun 2017, dari kebutuhan Rp 2,56 triliun, anggaran yang diberikan Rp 1,45 triliun.
Begitu juga pada 2016, dari kebutuhan Rp 2,2 triliun, anggaran yang diberikan Rp 1,3 triliun saja.
"Pagu yang diberikan selalu jauh dari kebutuhan yang diperlukan," kata Fadli.
Baca juga: Sandiaga Uno: Kok Bisa-bisanya Proyek di Lokasi Bencana Dikorupsi
Akibat kondisi anggaran terbatas itu, menurut dia, BMKG mendapat kendala untuk merawat, memperbaiki, ataupun melakukan pengadaan peralatan yang terkait dengan monitoring dan early warning system kebencanaan. Sistem peringatan kebencanaan pun jadi lemah.
Dalam peristiwa bencana Donggala-Palu, misalnya, BMKG justru mengakhiri peringatan tsunami sesaat sebelum gelombang menerjang.
"Itu kesalahan yang sangat fatal. Dan kesalahan itu terjadi karena sistem peringatan dini tidak berfungsi," ucap Fadli.
Menurut Fadli, kondisi serupa terjadi pada BNPB. Anggaran BNPB justru terus-menerus dikurangi oleh Pemerintah.
Pada 2015, alokasi anggaran BNPB mencapai Rp2,5 triliun. Pada 2016, anggaran BNPB ditetapkan Rp1,6 triliun, namun oleh Instruksi Presiden (Inpres) No. 4/2016 angka tersebut kemudian dipotong menjadi Rp1,46 triliun.
Baca juga: Rumah Terapung, Solusi Darurat Bencana
Pada 2017, anggaran BNPB kembali turun menjadi Rp1,2 triliun. Tahun lalu, 2018, anggaran BNPB hanya dialokasikan sebesar Rp 700 miliar. Sementara, di tahun 2019, anggaran BNPB hanya dialokasikan sebesar Rp 610 miliar.
"Jauh lebih kecil dari jamuan pemerintah untuk Sidang IMF/World Bank Oktober 2018 yang menghabiskan hampir Rp 1 triliun," kata Fadli.
Akibat kondisi itu, menurut Fadli, BNPB juga tak bisa berperan maksimal dalam penanganan bencana.
Baca juga: Jika Terpilih, Prabowo Rencanakan Bentuk Kementerian Khusus Bencana
Pada 2016, berdasarkan data yang dimiliki BNPB, ada 22 buoy (alat deteksi tsunami) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua.
Dari jumlah itu, sembilan unit dimiliki oleh Indonesia, 10 unit milik Jerman, satu unit Malaysia, dan dua unit milik Amerika Serikat. Sayangnya, semua alat itu tidak berfungsi.
Fadli mengakui, di sisi lain Pemerintah menyediakan dana cadangan kebencanaan, yang ersifat on call, yang tahun 2019 anggarannya mencapai Rp6,5 triliun.
Baca juga: Selama 2018, 2.564 Bencana Terjadi di Indonesia
Namun, dana itu alokasinya lebih untuk melakukan penanganan pasca-bencana, seperti proses rehabilitasi dan rekonstruksi, bukan untuk pencegahan dan antisipasi.
"Inilah yang saya sebut sebagai manajemen bencana ala pemadam kebakaran. Kita menyiapkan anggaran di hilir, sementara anggaran di hulunya terus-menerus dikurangi. Menurut saya ini perlu dikoreksi," kata Fadli.
Fadli mengingatkan, Indonesia adalah negara yang memiliki tingkat kegempaan tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat. Begitu juga dengan potensi tsunami.
Baca juga: BNPB: Siapapun Presidennya, Indonesia Pasti Berhadapan dengan Bencana
Hingga November 2018 lalu, menurut data BNPB, tercatat telah terjadi 2.308 kejadian bencana yang menyebabkan 4.201 orang meninggal dunia dan hilang. Sementara, jumlah korban terdampak mencapai 9.883.780.
Seluruh bencana itu telah mengakibatkan 371.625 rumah mengalami kerusakan. Data ini belum termasuk dampak akibat bencana tsunami di Selat Sunda kemarin.
"Bayangkan jika manajemen bencana kita hanya seperti pemadam kebakaran, anggaran kita enggak mungkin cukup," kata dia.
Baca juga: Tsunami dan Tahun Bencana Tata Ruang
Menurut Fadli, di tengah keterbatasan anggaran, yang mestinya dilakukan Pemerintah adalah membangun sistem peringatan dini yang canggih.
Hal itu untuk meminimalisir potensi kerusakan akibat bencana. Namun Fadli menyayangkan, saat ini anggaran bencana kita memang masih sangat minim, tidak ada 1 persen dari APBN.
"Untuk membangun jalan tol, Pemerintah terkesan jorjoran, namun untuk penanggulangan bencana Pemerintah terkesan pelit. Hal ini tentu saja tidak merepresentasikan kesiapan Indonesia sebagai negara yang berada di ring of fire," ujarnya.
Baca juga: Dugaan Suap di PUPR Terkait Proyek di Daerah Bencana, KPK Pelajari Penerapan Hukuman Mati
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini pun meyakini, kondisi anggaran bencana yang minim dan politik ala pemadam kebakaran ini akan diperbaiki jika Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memenangi pilpres 2019.
Menurut dia, Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga saat ini bahkan tengah mengkaji apakah perlu untuk membentuk kementerian khusus bencana.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.