Selanjutnya, PTUN juga mengabulkan gugatan OSO. Melalui putusan Nomor 242/G/SPPU/2018/, PTUN memerintahkan KPU untuk membatalkan surat keputusan (SK) DCT anggota DPD yang tidak memuat nama OSO di dalamnya.
Majelis hakim juga memerintahkan KPU untuk menerbitkan SK DCT baru yang mencantumkan nama OSO di dalamnya.
Atas tiga putusan lembaga peradilan tersebut, KPU mengalami dilema. Di satu sisi, KPU harus mematuhi putusan MK yang menyatakan pengurus partai politik dilarang menjadi anggota DPD.
Namun, di sisi lain, ada putusan MA. Muncul pula putusan PTUN yang memerintahkan KPU memasukan nama OSO ke DCT anggota DPD.
Tak ingin terburu-buru dan salah langkah, KPU lantas menggelar audiensi dengan sejumlah pihak, mulai dari MK hingga ahli hukum tata negara.
Berikut beberapa pihak yang menyampaikan pandangan dan saran mereka melalui audiensi dengan KPU:
1. Sejumlah ahli hukum tata negara yang dipimpin oleh pakar hukum Universitas Andalas Feri Amsari
Para ahli mendatangi kantor KPU Rabu (14/11/2018) berdasar permintaan KPU.
Mereka menyarankan KPU untuk menjalankan putusan MK yang melarang anggota partai politik rangkap jabatan sebagai anggota DPD.
Menurut Feri, putusan dari hasil uji materi MK dapat dikatakan sesuai dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Jika dalam hal ini KPU tak jalankan putusan MK, maka mereka bisa disebut mengabaikan UUD.
Putusan MK, juga bersifat final dan mengikat, yang berati berkekuatan hukum tetap sejak dibacakan dan mengikat seluruh masyarakat Indonesia.
2. MK diwakili oleh Hakim I Dewa Gede Palguna
Audiensi itu digelar di gedung MK, Kamis (22/11/2018), pasca KPU melayangkan permohonan.
Dalam pandangannya, Palguna memberi penegasan ke KPU bahwa putusan MK setara dengan Undang-Undang. Sehingga, semua lembaga dan warga negara, wajib untuk mematuhinya.