Berita acara sidang penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi di Kementerian Hukum dan HAM di mana Pemerintah Kota Bogor hadir pada 20 September 2018 yang memerintahkan isi Perda KTR disesuaikan PP 109 dan pencabutan Peraturan Walikota Nomor 3/2014 pun tidak diindahkan.
Baca juga: Masalah Otonomi Daerah Dianalogikan seperti Penanganan Penyakit
Wali Kota Bogor dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetap mengesahkan revisi Perda tersebut. Andai terus dibiarkan, fenomena ini tentu akan mengancam tatanan kebijakan publik ke depan. Apalagi, daerah lain sedang membahas peraturan sejenis yang secara legal dan konten juga bermasalah.
Jika dicermati, setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan guna mengurangi lahirnya perda bermasalah.
Pertama, optimalisasi jalur penyelesaian sengketa non-litigasi di Kementerian Hukum dan HAM. Jalur ini bisa menjadi pilihan tercepat dan efisien untuk menemukan win-win solution bagi seluruh pihak.
Memang, siapapun yang keberatan dapat mengajukan peninjauan kembali perda bermasalah ke Mahkamah Agung.
Namun, jalan ini seyogyanya menjadi pilihan terakhir karena tidak efisien dan menjadi bukti betapa penyusunan perda minim konsultasi publik. Jika jalur non-litigasi dijalankan maksimal maka seluruh stakeholder juga bisa menghemat energi.
Kedua, penggunaan teknologi. Ini adalah salah satu sarana mendeteksi potensi perda bermasalah termasuk meminta masukan publik secara luas. Keterlibatan publik akan mendorong transparansi dan akuntabilitas penyusunan regulasi.
Kemendagri pernah meluncurkan sistem informasi perda (e-perda) pada 2016 yang perlu terus dioptimalkan. Penggunaan teknologi yang dikombinasikan metode pengukuran dampak regulasi (regulatory impact assessment) dalam proses pembuatan aturan daerah bisa menjadi pilihan.
Ketiga, penguatan pengawasan Kemendagri dan pemerintah provinsi. Inilah sesungguhnya masalah fundamental yang harus diselesaikan.
Lemahnya pengawasan menjadi salah satu penyebab utama maraknya perda bermasalah. Jika ini dapat diperbaiki, sebagian besar persoalan dapat diselesaikan.
Di luar itu, pemerintah daerah harus sadar bahwa perda bermasalah hanya akan menghambat perkembangan wilayah. Di era globalisasi dan ketatnya kompetisi, perda bermasalah akan memperburuk posisi kemudahan berusaha (ease of doing business).
Tahun ini peringkat ease of doing business Indonesia turun menjadi 73 dari sebelumnya 72, semakin jauh dari target Presiden di ranking 40.
Perda KTR Kota Bogor hanyalah contoh kecil aturan bermasalah di daerah selain retribusi, pajak, dan tenaga kerja yang harus segera dibereskan.
Satu hal yang patut direnungkan adalah bahwa otonomi lahir bukanlah untuk menjadikan Indonesia negara federal, melainkan sebuah kesatuan yang tumbuh bersama. Oleh karenanya, jangan lagi ironi kebijakan di era otonomi terus terjadi. (Robert Na Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.