JAKARTA, KOMPAS.com - Tahun 2018 diwarnai dengan tangkap tangan dan penetapan tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sasarannya ada di berbagai lembaga, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tempat berkumpulnya para wakil rakyat.
Selama 2018, KPK telah menetapkan beberapa anggota hingga Pimpinan DPR sebagai tersangka.
Berikut nama-nama wakil rakyat yang terjerat kasus korupsi sepanjang tahun ini:
Fayakhun diduga menerima suap berupa hadiah atau janji yang terkait dengan jabatannya.
Dugaan suap itu diduga merupakan fee atas jasa Fayakhun dalam memuluskan anggaran pengadaan satelit monitoring di Bakamla pada APBN-P tahun anggaran 2016.
Seiring dengan perjalanan kasusnya, Fayakhun mengembalikan uang yang diduga berasal dari hasil korupsi kepada negara sebesar Rp 2 miliar. KPK mengonfirmasi pengembalian uang itu pada 16 Juli 2018.
Baca juga: Hakim Tolak Permohonan Justice Collaborator Fayakhun Andriadi
Pada November, Fayakhun akhirnya menghadapi vonis. Politisi Partai Golkar itu divonis 8 tahun penjara oleh majelis hakim. Dia juga dihukum membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan.
Dalam persidangan, Fayakhun terbukti menerima suap sebesar 911.480 dollar Amerika Serikat dari Direktur Utama PT Merial Esa, Fahmi Darmawansyah. Perusahaan tersebut merupakan rekanan Bakamla yang akan mengerjakan proyek pengadaan satelit itu.
Fahmi menyuap Fayakhun agar anggaran Bakamla bisa ditambah dalam APBN-P 2016.
Sementara itu pada April 2016, Fayakhun sempat bertemu dengan Ali Fahmi Habsyi yang mengaku sebagai staf khusus Kepala Bakamla.
Baca juga: Hakim Cabut Hak Politik Fayakhun Andriadi
Ali juga meminta Fayakhun mengupayakan usulan penambahan anggaran untuk Bakamla.
Ali Fahmi kemudian menjanjikan fee sebesar 6 persen dari nilai proyek untuk Fayakhun.
Kemudian, Fayakhun mengabarkan Fahmi Dharmawansyah bahwa anggota Komisi I DPR merespons positif pengajuan tambahan anggaran itu. Dia juga akan mengawal usulan ini agar disahkan dalam APBN-P 2016 untuk proyek di Bakamla.
Untuk mengawal anggaran itu, Fayakhun meminta komitmen fee dari Fahmi.
Fayakhun selanjutnya meminta tambahan komitmen fee 1 persen untuk dirinya dari nilai fee sebelumnya sebesar 6 persen. Sehingga, total fee yang harus disiapkan menjadi sebesar 7 persen dari nilai proyek itu pada Mei 2016.
Beberapa yang ditangkap bersama Amin adalah Eka Kamaludin selaku pihak swasta atau perantara, Yaya Purnomo selaku Kasie Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permikiman pada Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan dan Ahmad Ghaist selaku swasta atau kontraktor.
Operasi Tangkap Tangan dilakukan KPK setelah mendapat informasi adanya pertemuan antara Amin, Eka, Yaya, dan Ahmad di sebuah restoran Bandar Udara Halim Perdanakusuma.
Baca juga: Soal Uang Rp 1,2 Miliar untuk Pemenangan Pilkada, Ini Keterangan Anak Amin Santono
Dalam kejadian itu, KPK menduga terjadi penyerahan uang dari Ahmad kepada Amin sebesar Rp 400 juta.
Tim penyidik KPK menemukan uang tersebut saat menghentikan mobil Amin saat keluar dari area bandara.
Pada September 2018, sidang dakwaan terhadap Amin dilakukan.
Dia didakwa menerima suap Rp 3,3 miliar dari Kepala Dinas Bina Marga Kabupaten Lampung Tengah Taufik Rahman dan Direktur CV Iwan Binangkit, Ahmad Ghiast.
Uang tersebut diberikan agar Amin mengupayakan Kabupaten Lampung Tengah mendapat anggaran dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Insentif Daerah (DID) dari APBN 2018.
Baca juga: Cerita Sopir saat Amin Santono Terjaring OTT KPK
Politisi Partai Demokrat itu meminta fee sebesar 7 persen dari tiap total anggaran yang akan diterima pemerintah daerah.
Belakangan diketahui bahwa uang hasil korupsi itu digunakan untuk biaya pemenangan anak Amin, Yosa Octora Santono, yang mengikuti Pilkada Kabupaten Kuningan.
Sampai saat ini, proses persidangan Amin Santono masih bergulir.