JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi menyatakan, tindakan poligami adalah sebuah bentuk kekerasan terhadap perempuan. Menurut dia, tindakan poligami merendahkan kedudukan dan kesetaraan perempuan.
“Seperti yang dicita-citakan oleh kongres perempuan Indonesia pada saat itu, ketika kita ingin membangun bangsa maka perempuan harus pada kedudukan setara dan kedudukan sama, dihargai martabatnya, dihargai sebagai posisi individu,” tutur Mutiara saat konferensi pers dengan tema 90 Tahun Kongres Perempuan Indonesia "Demokrasi Terancam Intoleransi : Perempuan Menuntut Jaminan Kebebasan Berpendapat, Berorganisasi dan Berekspresi" di kantor Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, Sabtu (22/12/2018).
Mutiara menyatakan kaum perempuan memiliki akses dan hak yang sama dengan kaum laki-laki. Menurut dia, poligami menyalahi prinsip kesetaraan dan keadilan.
“Perempuan didudukan sebagai posisi kedua di bawah laki-laki yang kemudian dinomor duakan dengan beberapa alasan, karena kekurangan perempuan,” tutur Mutiara.
Baca juga: PSI Janji Perjuangkan Larangan Poligami bagi Pejabat Publik hingga ASN
Mutiara menuturkan, tindakan poligami dapat menghambat seorang perempuan dalam membangun dan memajukan bangsa Indonesia.
“Kami bersikap tegas untuk menolak terhadap segala bentuk praktik poligami dan kekerasan terhadap perempuan,” ujar Mutiara.
Pada kesempatan itu, Mutiara menyoroti ketimpangan relasi kuasa antar laki-laki dan perempuan di tempat kerja. Menurut Mutiara, selain anggapan perempuan sebagai obyek seksual yang rentan menjadi korban kekerasan seksual, korban juga dihadapkan dengan sistem kerja kontrak dan berjangka pendek.
Hal itu mengakibatkan posisi tawar perempuan yang lemah sebagai buruh. Perempuan korban kekerasan seksual juga sulit untuk melaporkan atau melakukan perlawanan.
Baca juga: PKS Tolak Gagasan PSI yang Ingin Larang Poligami bagi Pejabat
“Dari penelitian yang kami lakukan, kami menemukan 90 persen lebih korban kekerasan seksual enggan melaporkan. Ini terjadi karena rasa takut atau rasa kwatir akan pemecatan atau pemberhentian hubungan kerja,” kata Mutiara.
Mutiara menambahkan, tindakan intoleransi menjadi ancaman nyata atas ruang demokrasi bagi perempuan. Menurut dia, negara belum hadir dalam memberikan perlindungan kerja bagi perempuan.
“Di satu sisi perempuan diserang oleh politik intoleransi, di sisi lain tidak ada atau sangat minim kehadiran negara dalam memperjuangkan dalam melindungi perempuan pekerja,” kata Mutiara.
Mutiara menegaskan, perempuan pekerja memiliki kepentingan besar terhadap demokrasi untuk meraih kesejahteraan dan kesetaraan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.