JAKARTA, KOMPAS.com - Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta pemerintah dan DPR lebih ketat dalam merumuskan pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Pasal 2 draf RKUHP per 9 Juli 2018 mengakui berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat, yang menentukan seseorang dapat dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Staf advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Sekar Banjaran Aji mengatakan ketentuan pasal 2 RKUHP sangat berkaitan erat dengan penerbitan Peraturan Daerah (Perda).
Baca juga: Jika KUHP Atur Korupsi, KPK Khawatir Kewenangannya Terpangkas
Dikhawatirkan pengaturan yang tidak ketat dapat memunculkan Perda yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok tertentu.
"Living law sangat berkaitan dengan penerapan Perda. Apa yang kami takutkan seperti yang terjadi di Aceh yang menerapkan Qanun Jinayat. Dikhawatirkan dapat merepresi kelompok tertentu," ujar Sekar dalam sebuah diskusi kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (20/12/2018).
Pada kesempatan yang sama, Riska Carolina dari Koalisi Indonesia untuk Seksualitas dan Keragaman (KITASAMA) mengatakan saat ini ada ratusan Perda yang cenderung mendiskriminasi perempuan dan kelompok minoritas.
Berdasarkan data Komnas Perempuan, terdapat 460 Perda yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, ada 45 Perda yang mendiskriminasi kelompok minoritas dan kelompok dengan orientasi seksual berbeda.
Baca juga: Bahas Rancangan KUHP, Jokowi Bertemu Pimpinan KPK
Keberadaan perda diskriminatif dinilai memunculkan sentimen negatif hingga tindakan kekerasan terhadap kelompok perempuan dan minoritas.
"Jangan sampai (ketentuan pasa 2) jadi pembenaran Perda-Perda diskriminatif yang sudah ada," kata Riska.
Sebelumnya, pemerintah dan DPR menunda pembahasan RKUHP sampai dengan selesainya pemilu 2019 mendatang.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP mencatat sedikitnya ada 16 isu masalah yang belum terselesaikan dalam pembahasan RKUHP.