"Makanya kita perlu dukungan, kerja sama dan sinergisitas dari pemerintah kabupaten/kota bisa menampilkan potret kube yang dibiayai dari APBN melalui sharing budget untuk kegiatan evaluasinya," ujar dia.
Papua menolak
Meski BPNT dianggap mampu meningkatkan kualitas penyaluran bansos, tidak semua setuju hal itu dilakukan. Seperti yang disampaikan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Kabupaten Tolikara Turin Wanimbo.
Ketidaksetujuan Turin karena nilai dari BPNT tersebut sebesar Rp 110.000. Menurutnya, harga beras di sana tidak sebanding dengan jumlah BPNT yang diberikan.
"Alasannya beras yang di sini, misalnya Rp 110.000 itu susah. Di sana beras 15 kilogram itu saja Rp 400.000," kata Turin.
Selain itu, Turin menyampaikan mayoritas kondisi toko daerahnya tidak memungkinkan menerapkan BPNT. Jika pun harus dipaksakan, penerima BPNT harus ke kota besar seperti Wamena dan Papua.
"Mereka datang dari jauh, mau akses warung-warung agak susah. Di sana belum ada toko tapi hanya kios kecil yang tidak layak. Harus ke Wamena atau Papua untuk membelanjakannya. Tapi agak susah untuk itu," katanya.
Oleh karena itu, Turin meminta agar kebijakan tersebut ditinjau ulang, khususnya untuk Papua. Masyarakat di Bumi Cendrawasih lebih puas menerima bantuan dalam bentuk Rastra.
"Di sana Rastra sudah tersalurkan dengan baik," ujarnya.
Perlu diketahui rapat evaluasi penyaluran bantuan sosial 2018 diikuti oleh pemerintah daerah di wilayah III, yaitu Papua, Maluku, Sulawesi, dan Jawa Timur.
Fokus rapat kali ini adalah evaluasi penyaluran BPNT dan berbagi pengalaman kepada daerah yang masih menerapkan Rastra.
"Kami kumpulkan selama tiga hari. Mereka membuat suatu kesimpulan, menceritakan masalah yang dihadapi, kemudian dievaluasi semuanya," kata Andi, usai menutup rapat evaluasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.