JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi merilis catatan tentang sosok Presiden kedua RI Soeharto.
Hendardi menilai catatan ini perlu diketahui publik di tengah adanya upaya membesar-besarkan atau mengglorifikasi nama Soeharto jelang pemilu 2019.
"Glorifikasi nama Soeharto perlu ditandingkan dengan pendapat berbeda dan dilengkapi dengan sejumlah indivasi agar kita tidak terperangkap dalam kultus pribadi," ucap Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (8/12/2018).
Baca juga: Sejarawan LIPI: Hanya Orang Gila yang Mau Kembali ke Era Soeharto
Hendardi mengatakan, berbagai studi pernah dilakukan para pakar sejarah, politik, ekonomi, maupun studi khusus militer.
Dari situ, Soeharto punya track record yang kemudian disebutnya sebagai 'catatan kebesaran' Soeharto.
Pertama, Soeharto menapaki 'jalan kebesarannya' setelah peristiwa G30S/1965.
Baca juga: ICW Tagih Komitmen Negara Usut Dugaan Korupsi Soeharto
Dia menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Pesaingnya susut setelah Letjen Ahmad Yani dan kawan-kawan dibunuh komplotan G30S.
Tersisa Mayjen Pranoto Reksosamodra, Menteri/Panglima Angkatan Darat (AD) yang ditunjuk Presiden Soekarno.
Tapi, pada 14 Oktober 1965, Soeharto sukses meraih jabatan Panglima AD merangkap Panglima Kostrad.
Baca juga: Partai Berkarya: Julukan Bapak Korupsi Tak Pantas untuk Soeharto
Caranya, dengan mengangkat dirinya sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
"Kebesaran Soeharto adalah sukses memborong tiga jabatan Panglima militer sekaligus hanya dalam dua minggu saja," kata Hendardi.
Kedua, meskipun Soeharto merangkap tiga panglima sekaligus, tapi kenyataannya, keadaan darurat tetap dijalankannya.
Baca juga: Partai Berkarya: Julukan Bapak Korupsi Tak Pantas untuk Soeharto
Hendardi memperkiraan, selama 1965-1966, sebanyak 500.000 warga sipil jadi korban pembantaian dan sebanyak 1,6 juta orang dijebloskan ke penjara.
"Kebesarannya adalah catatan rekor jumlah korban pembantaian, serta penahanan warga negara secara sewenang-wenang," ujar Hendardi.
Korban-korban lainnya tercatat dalam invasi militer ke Timor Timur (1975-1976), pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998), pembunuhan misterius (1982-1984), dan pembantaian Tanjungpriok (1984).
Baca juga: Pengacara: Kasus Gedung Granadi Rugikan Tommy Soeharto