JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, pelaku mengaku hanya iseng menjual blangko E-KTP di situs jual beli online.
Pelaku yang merupakan anak dari mantan Kepala Dinas Dukcapil Tulang Bawang, Lampung, mencuri blangko E-KTP dari ayahnya.
Baca juga: Blangko E-KTP Dijual di Tokopedia, Kemendagri Buat Laporan ke Polisi
Pencurian itu terjadi Maret 2018, ketika ayah pelaku masih menjabat sebagai Kepala Dinas Dukcapil.
Melihat sejumlah blangko E-KTP berada di rumahnya, pelaku iseng mengambil beberapa blangko dan menjualnya melalui situs online.
"Cuma iseng. Ini memang keisengan yang risikonya terlalu besar. Jual 10 (blangko) hanya dapat (uang) 500 ribu," kata Zudan saat ditemui di Komplek Pralemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (6/12/2018).
Baca juga: Kemendagri Serahkan Kasus Pencurian Blangko E-KTP ke Polisi
Zudan mengatakan, keisengan pelaku berujung fatal karena menyebabkan kegaduhan publik.
Berdasarkan hasil investigasi Dirjen Dukcapil terhadap mantan Kepala Dinas Dukcapil Tulang Bawang, keberadaan blangko E-KTP di rumahnya lantaran yang bersangkutan saat itu akan melakukan perekaman E-KTP di sebuah wilayah.
Ada kemungkinan, mantan Kepala Disdukcapil akan melakukan perekaman secara jemput bola.
Baca juga: Kemendagri Diminta Tak Berhenti Ungkap Penjual Blangko E-KTP
Menurut Zudan, meskipun seorang kepala dinas berhak membawa blangko E-KTP, tetapi mantan Kepala Dukcapil Tulang Bawang itu telah melakukan keteledoran sehingga menyebabkan tercurinya dokumen negara.
Namun demikian, dalam kasus ini, yang dinyatakan bersalah tetap pelaku penjual blangko e-KTP.
"Kalau kepala dinas kan dia pimpinan tim kan, yang keliru anaknya karena ngambil," ujar Zudan.
Baca juga: Dirjen Dukcapil: Mantan Kadis Tak Seharusnya Simpan Blangko E-KTP
Saat ini, kasus tersebut sudah dilimpahkan ke Polda Metro Jaya untuk dilakukan penyelidikan lebih dalam.
Sesuai dengan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, perbuatan tersebut merupakan tindakan pidana.
Ancaman hukumannya berupa pidana penjara paling lama 10 Tahun dan denda paling banyak 1 milyar rupiah.