TAK banyak media yang mengangkat isu ini setelah Jokowi dan Prabowo menyinggungnya. Media dan warganet lebih tertarik dengan “tampang boyolali”, “genderuwo”, dan “guru koruptor”. Padahal sejatinya, isu ini lebih dekat dengan urusan hidup mati rakyat.
Pertengahan Oktober lalu, Indonesia dikejutkan dengan pernyataan keras yang tak sering digunakan Presiden Joko Widodo.
Ia menyinggung dengan tajam soal krisis keuangan yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di hadapan Fahmi Idris, Direktur Utama BPJS Kesehatan yang hadir saat itu.
"Mestinya sudah rampunglah di (tingkat) Menkes, di Dirut BPJS. Urusan pembayaran utang RS sampai Presiden. Ini kebangetan sebetulnya," kata Jokowi
"Ini masih kurang lagi. 'Pak masih kurang, kebutuhan bukan Rp 4,9 T', lah kok enak banget ini, kalau kurang minta, kalau kurang minta," kata Jokowi lagi. Baca juga: Jokowi: Urusan Utang Rumah Sakit Sampai ke Presiden, Kebangetan!
Persis sebulan berselang, Calon Presiden Nomor 02, Prabowo Subianto, kembali menyinggung BPJS Kesehatan. Prabowo mengatakan, sebentar lagi orang sakit ditolak Rumah Sakit!
"Saudara-saudara, saya di Semarang, ketemu dengan salah satu pengusaha yang punya rumah sakit. Dia mengatakan rumah sakit dia, pemerintah sudah tunggak, pemerintah utang dengan rumah sakit dia Rp 100 miliar," ucap Prabowo.
"Di mana-mana seperti itu. Jadi sebentar lagi orang sakit akan ditolak karena kalau satu rumah sakit harus mengeluarkan Rp 100 miliar, bagaimana?" tanya Prabowo. Baca juga: Prabowo: Sekarang Saja Enggak Bisa Bayar Rumah Sakit, Bagaimana 5 Tahun Lagi?
Defisit keuangan BPJS adalah isu yang serius, namun hanya sedikit yang memperhatikan.
Program AIMAN, mencoba mencari "korban" dari pelayanan Rumah Sakit yang menggunakan jasa BPJS Kesehatan.
Memang merepotkan menyortir ribuan peserta BPJS, terutama menyisir jenis penyakit dan lamanya. Perlu waktu. Namun, tak sulit mendapatkan warga peserta BPJS yang memiliki kisah yang kuat.
Akhirnya kami menemukan sosoknya. Ia tinggal di pusat kota Jakarta, di Tambora, Jakarta Barat. Saya masuk ke sebuah gang kecil dan menemukan Slamet, seorang lelaki berusia 37 tahun yang lemah terkulai. Tinggi Slamet menyusut 12 cm dalam beberapa bulan terakhir.
Ia menderita gagal ginjal kronis. Penyakit lain yang menyusul adalah osteoporosis alias pengeroposan tulang. Ia terbaring di tempat tidur. Bergerak dengan kursi roda. Mungkin untuk selamanya.
Ia harus bolak-balik ke rumah sakit untuk cuci darah yang merupakan penyambung hidupnya. “Saya akan mati jika tak cuci darah 2 kali seminggu di Rumah Sakit Sumber Waras (Jakarta Barat),” kata dia.
Selain cuci darah, ia juga harus berobat ke RSCM, Jakarta Pusat, untuk osteoporosisnya. Ia juga harus menebus obat suntik untuk ia suntik sendiri guna menghilangkan rasa sakit akibat pengeroposan tulang.
Tahu berapa harga obatnya? Rp 2 juta. Obat seharga itu habis dalam 2 pekan.
Mirisnya, obat itu harus ia beli dengan biaya sendiri karena tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Karena tak mampu, ia harus rela menahan rasa sakit di sendi tulangnya sepanjang waktu. Tak ada yang bisa ia lakukan.
Setidaknya, 3-4 hari dalam sepekan ia menghabiskan waktu di rumah sakit sepanjang hari. Pelayanan BPJS Kesehatan perlu menunggu hingga 12 jam sekali berobat.
Bedakan dengan pelayanan umum yang membayar biasa, hanya 2 jam selesai!
Istri Slamet tidak bisa membantu mencari uang. Waktnya habis mengurus Slamet di rumah, di rumah sakit, dan dua anaknya. Salah satu anaknya masih balita.
Sungguh berat kehidupan yang dialami Slamet dan keluarganya. Kisahnya akan tayang dalam Program AIMAN malam nanti, Senin (3/12/2018) pukul 20.00.
Slamet dan istrinya berada di ujung asa. Rumah satu-satunya milik mereka yang hanya seluas kamar tidur rencananya akan mereka jual.
Saya bertanya, lalu di mana akan tinggal? Slamet dan istrinya menjawab dengan gelengan kepala.
Saya kembali mencari informasi lain. Saya mendatangi Rumah Sakit Sumber Waras. Sayang, pengurus rumah sakit tidak bersedia diwawancara. Salah seorang petugas meminta saya kembali di lain hari.
Saya tidak menyerah. Saya mendatangi pusat pelayanan BPJS di Rumah Sakit ini.
Di sana saya bertemu seorang kakek berusia 77 tahun. Adiem bersama istrinya, Tarisa, tengah menunggu obat jantung di sore hari itu.
Saya bertanya, sejak jam berapa Kakek Adiem menunggu? Dari subuh, jawab dia.
Sore itu, ia masih menunggu obat jantung yang menurut informasi akan diterimanya pukul 19.00. Ia bercerita, semua rumah sakit yang pernah ia datangi sama pelayanannya. Ia pernah ke RS Pelni, Jakarta Pusat, dan RS Tarakan Jakarta Barat. Antreannya panjang.
Ia tak perlu mengantre jika menggunakan pelayanan umum non-BPJS. Maksimal 2 jam selesai.
Saya kemudian menemui Direktur Utama BPJS Kesehatan yang merupakan mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Fahmi Idris. Saya tumpahkan semua pertanyaan yang muncul dari hasil penelusuran saya.
Jawaban lengkap Fahmi Idris bisa Anda saksikan dalam program AIMAN malam nanti.
Saya lantas berpikir, jangan-jangan ada jutaan warga Indonesia yang berharap Pemilu berlangsung setiap tahun.
Karena pada saat pemilu, ada banyak kepentingan warga yang terekspos dan menjadi bahasan. Di luar waktu Pemilu, para pejabat dan politisi biasanya tak memilih bahasan ini.
Semoga tidak begitu kejadiannya. Sungguh, kepentingan hidup warga negara yang membutuhkan layanan kesehatan jauh lebih penting dari kontestasi politik 5 tahunan.
Saya Aiman Witjaksono.
Salam.