JAKARTA, KOMPAS.com - Tim kuasa hukum Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Tim kuasa hukum OSO diwakili Gugum Ridho Putra dan Dodi Abdul Kadir. Keduanya bertemu Ketua KPU Arief Budiman untuk beraudiensi soal pencalonan OSO sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pemilu 2019.
Mereka membahas adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) terkait syarat pencalonan anggota DPD, termasuk membicarakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang membatalkan surat keputusan (SK) KPU yang menyebut OSO tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai caleg DPD.
Kepada KPU, kuasa hukum OSO menyampaikan pandangan mereka. Pihak OSO berpendapat bahwa tak ada pertentangan antara putusan MK, MA, dan PTUN. Ketiga lembaga peradilan itu, dinilai mengambil keputusan mereka dalam ruang kewenangan masing-masing.
Baca juga: Saran Para Ahli Hukum kepada KPU soal Pencalonan OSO sebagai Anggota DPD...
"Kami ingin menjelaskan kepada KPU bahwa sebetulnya tak ada pertentangan antara putusan MK, MA, dan TUN. Dalam pandangan kami, masing-masing instutusi pengadilan itu sudah mengambil keputusan di ruang-ruang kewenangan masing-masing," kata Gugum Ridho Putra di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (30/11/2018).
Gugum juga menyampaikan bantahan terhadap pendapat sejumlah pihak yang menyatakan seolah-olah putusan PTUN bertentangan dengan putusan MK.
Putusan MK dan MA pun, kata Gugum, substansinya sama, yaitu melarang anggota partai politik mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Tetapi, dalam pandangan MA, penerapan aturan tersebut tidak bisa dilakukan pada Pemilu 2019.
Sebab, putusan MK mengenai aturan itu muncul di tengah-tengah tahapan pencalonan anggota DPD.
Nama OSO, sebelumnya sudah masuk dalam daftar calon sementara (DCS) anggota DPD Pemilu 2019. Dalam pandangan kuasa hukum, OSO tidak bisa tidak dimasukan dalam Daftar Calon Tetap (DCT).
"Jadi dalam pandangan kami, ketika putusan MK keluar, porses (pencalonan anggota DPD) sudah keluar DCS. Dalam hal ini Pak OSO sudah masuk DCS. Kemudian ada 1 tahapan lagi yaitu menuju DCT, kalau kita baca Undang-Undangnya tak ada lagi proses administrasi lagi, tak ada proses veriifikasi," tutur Gugum.
Satu-satunya proses yang bisa menganulir DCS terhadap DCT, kata Ridho, jika ada laporan dark masyarakat memgenai calon yang bermasalah.
Lebih lanjut, Gugum memahami posisi KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Bahwa dalam menyelesaikan polemik ini, KPU dihadapkan pada situasi yang sulit.
"Kita juga mengerti bagaimana posisi KPU, kemudian tak mudah menyelesaikan situasi ini kami paham," ujar Gugum.
Sebelumnya, KPU mencoret Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai calon anggota DPD lantaran tidak menyerahkan surat pengunduran diri dari partai politik. OSO dianggap masih tercatat sebagai anggota partai politik.
Menurut putusan MK, anggota DPD dilarang rangkap jabatan sebagai anggota partai politik.
Aturan mengenai larangan anggota DPD rangkap jabatan tercantum dalam putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang dibacakan pada Senin, (23/7/2018).
Baca juga: KPU Merasa Opsi Bertemu OSO Tak Mungkin Dilakukan
Atas putusan KPU itu, OSO melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
MA mengabulkan gugatan uji materi OSO terkait PKPU Nomor 26 Tahun 2018 yang memuat syarat pencalonan anggota DPD.
Sementara Majelis Hakim PTUN juga mengabulkan gugatan Ketua Umum Partai Hanura itu dan membatalkan surat keputusan (SK) KPU yang menyatakan OSO tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai calon anggota DPD. Hakim juga memerintahkan KPU untuk mencabut SK tersebut.