JAKARTA, KOMPAS.com - Operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Jakarta Timur pada Rabu (28/11/2018) lalu, menambah panjang daftar aparat lembaga peradilan yang terjerat kasus korupsi.
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya terdapat 18 hakim dan 10 aparat peradilan non hakim yang ditangkap KPK dalam periode Maret 2012 hingga November 2018.
"Dalam catatan ICW sejak Hatta Ali dilantik menjadi Ketua Mahkamah Agung, Maret 2012 hingga sekarang, setidaknya sudah ada 28 orang hakim dan aparat pengadilan (non hakim) yang tersandung kasus korupsi dan sebagian besar terjerat OTT KPK," ujar Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter kepada Kompas.com, Jumat (30/11/2018).
Baca juga: Dua Hakim Sempat Dipanggil Ketua PN Jaksel Sebelum Ditangkap KPK
Lalola mengatakan, banyaknya hakim dan pegawai pengadilan yang ditangkap KPK mengindikasikan bahwa pengadilan atau cabang kekuasaan yudikatif dalam kondisi darurat korupsi.
Ia menilai lembaga pengadilan memiliki potensi korupsi yang sangat besar dan bahwa belum ada reformasi yang signifikan di lingkungan Mahkamah Agung (MA) khususnya di bawah kepemimpinan Hatta Ali.
Baca juga: Ditahan KPK dan Diberhentikan Sementara, 2 Hakim PN Jaksel Masih Terima 50 Persen Gaji
Potensi korupsi yang sangat besar itu juga dilihat dari besarnya struktur organisasi dan lembaga peradilan di bawah MA.
"Maka bukan hal yang mustahil, masih banyak oknum hakim dan petugas pengadilan yang korup namun belum tersentuh oleh KPK atau penegak hukum lainnya," kata Lalola.
Selain itu, lanjut dia, potensi korupsi juga diperbesar dengan lemahnya pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial.
Baca juga: MA Berhentikan Sementara Dua Hakim yang Ditangkap KPK
Peraturan MA Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya dinilai belum efektif dalam mengawasi hakim dan petugas pengadilan.
Berdasarkan Perma tersebut, Ketua Pengadilan dibebani tanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap bawahan.
Namun dalam perkara korupsi yang menimpa Hakim Sudiwardono, justru Ketua pengadilan tinggi Manado yang melakukan pelanggaran dan menerima suap.
"Sulit secara nalar untuk menjustifikasi pengawasan dilakukan oleh Ketua Pengadilan tetapi justru Ketua Pengadilan yang menjadi oknum nakal di pengadilan," kata Lalola.
Baca juga: 5 Fakta Kasus Suap di PN Jaksel, Hakim Jadi Tersangka hingga Kode Ngopi
"Lumrah jika menilai hakim yang telah ditangkap oleh KPK hanya sedang bernasib buruk. Namun tidak memberikan efek penjeraan bagi oknum nakal di pengadilan," tuturnya.
Sebelumnya KPK menangkap dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Iswahyu Widodo dan Irwan. Selain itu KPK juga menangkap panitera pengganti PN Jakarta Timur Muhammad Ramadhan.
Iswahyu, Irwan dan Ramadhan diduga menerima suap untuk kepengurusan perkara perdata. Ramadhan diduga menjadi perantara suap.
Baca juga: Kronologi OTT KPK terhadap Dua Hakim PN Jakarta Selatan
Perkara yang dimaksud adalah perkara dengan Nomor 262/Pdt.G/2018/PN Jaksel.
Perkara tersebut didaftarkan pada tanggal 26 Maret 2018 dengan para pihak, yaitu penggugat atas nama Isrulah Achmad dan tergugat Williem J.V Dongen serta turut tergugat PT APMR dan Thomas Azali.
Gugatan perdata tersebut adalah pembatalan perjanjian akuisisi PT CLM oleh PT APMR di PN Jakarta Selatan.
Baca juga: Realisasi Uang Suap untuk Dua Hakim PN Jaksel Diduga Sekitar Rp 650 Juta
Realisasi suap tersebut dalam pecahan uang rupiah senilai Rp 150 juta dan 47.000 dollar Singapura. Namun, yang baru diterima oleh kedua hakim tersebut sekitar Rp 150 juta.
Sementara, 47.000 dollar Singapura yang akan diserahkan melalui Ramadhan terhadap dua hakim itu disita oleh KPK dalam operasi tangkap tangan.
Iswahyu, Irwan, dan Ramadhan saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh KPK.