JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meminta Komisi Yudisial (KY) lebih aktif dalam mengawasi penyelesaian sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), maupun hal-hal yang berkaitan dengan pengujian peraturan Pemilu di Mahkamah Agung (MA).
Titi menilai, putusan PTUN terkait sengketa Pemilu sangat krusial terhadap proses kepemiluan.
Oleh karenanya, sebagai lembaga yang menjembatani antara lembaga pemegang kekuasaan dan lembaga peradilan hukum, penting bagi KY lebih aktif dalam melakukan pengawasan.
"Kami minta KY agar lebih aktif dalam mengawasi penyelesaian sengketa di PTUN, maupun hal-hal yg berkaitan pengujian peraturan pemilu di MA," kata Titi saat dihubungi, Rabu (28/11/2018).
Baca juga: Regulasi Pemilu dan Ancaman Money Politics
Menurut Titi, fungsi KY dapat dimaksimalkan untuk menghindari atau menyelesaikan perbenturan sejumlah putusan lembaga peradilan hukum.
KY, diharapkan menjadi lembaga yang mencegah terjadinya multitafsir dari suatu putusan.
Putusan itu merujuk pada putusan Mahkamah Konsitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018, putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 65 P/HUM/2018, dan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Nomor 242.
Ketiga putusan lembaga peradilan hukum itu, seluruhnya memuat tentang syarat pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Titi menyebut, banyak kontroversi yang ditimbulkan pasca MA dan PTUN mengeluarkan putusan. Padahal, MK lebih dulu membuat keputusan tentang larangan anggota partai politik mencalonkan diri sebagai anggota DPD di Pemilu 2019.
Oleh karenanya, peran KY dibutuhkan untuk mengatasi potensi benturan putusan lembaga peradilan hukum.
"Dan mestinya sudah sepantasnya kekuasaan kehakiman dijalankan berdasarkan supremasi konstitusi. Bukan dengan membuat putusan yang bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi dan keadilan," ujar Titi.
Sebelumnya, KPU mencoret Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang sebagai calon anggota DPD lantaran tidak menyerahkan surat pengunduran diri dari partai politik. OSO dianggap masih tercatat sebagai anggota partai politik.
Menurut putusan MK, anggota DPD dilarang rangkap jabatan sebagai anggota partai politik.
Aturan mengenai larangan anggota DPD rangkap jabatan tercantum dalam putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang dibacakan pada Senin, (23/7/2018).
Baca juga: Perludem Berencana Ajukan Uji Materi UU Pemilu ke MK
Atas putusan KPU itu, OSO melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
MA mengabulkan gugatan uji materi OSO terkait PKPU Nomor 26 Tahun 2018 yang memuat syarat pencalonan anggota DPD.
Sementara Majelis Hakim PTUN juga mengabulkan gugatan Ketua Umum Partai Hanura itu dan membatalkan surat keputusan (SK) KPU yang menyatakan OSO tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai calon anggota DPD. Hakim juga memerintahkan KPU untuk mencabut SK tersebut.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.