JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo kembali didorong untuk memberikan amnesti kepada Baiq Nuril, mantan pegawai honorer di bagian tata usaha SMU 7 Mataram, NTB.
Amnesti dinilai menjadi pilihan langkah hukum yang tepat dari Presiden untuk menyelesaikan kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa Nuril.
Ketua Harian MaPPI Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dio Ashar Wicaksana, menilai, pemberian amnesti untuk Nuril bukan bentuk intervensi hukum.
Menurut dia, Presiden disebut melakukan intervensi jika mengubah putusan Mahkamah Agung (MA) atau putusan lembaga peradilan hukum lainnya.
Baca juga: Polda NTB Baru Pertama Kali Tangani Pelecehan Verbal seperti Kasus Nuril
"Kami mendukung Presiden kalau mau memberikan amnesti. Kenapa amnesti? Karena secara kewenangan Presiden punya, dan amnesti itu bukan bentuk intervensi hukum," kata Dio dalam sebuah diskusi publik di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (24/11/2018).
Dio mengatakan, UU tak mengatur pembatasan amnesti untuk perkara-perkara tertentu.
Oleh karena itu, amnesti bisa diberikan untuk berbagai perkara, termasuk pada kasus yang menimpa Nuril.
Presiden Joko Widodo sebelumnya menyatakan mendukung proses hukum yang dihadapi Baiq Nuril.
Jokowi berharap agar peninjauan kembali nantinya bisa memberikan keadilan bagi Nuril.
Baca juga: Ada 53 Pertanyaan, Pemeriksaan Baiq Nuril Berlangsung Selama 9 Jam
Namun, jika Nuril masih juga belum mendapat keadilan, Presiden mempersilakan Nuril untuk langsung mengajukan grasi kepada dirinya.
Baiq Nuril sendiri sudah berencana untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA) yang telah memutusnya bersalah karena melanggar UU ITE.
Menurut kuasa hukum Nuril, Joko Jumadi, pihaknya belum punya rencana untuk mengajukan amnesti kepada Presiden Joko Widodo.
Joko mengatakan, PK adalah satu-satunya solusi yang sedang diupayakan Nuril dan kuasa hukum.