Muhammadiyah menilai Jusuf Kalla sangat lincah meliukkan badan, kiri dan kanan, hanya untuk mendamaikan orang-orang yang sedang bertikai, kelompok-kelompok yang bersilangan dalam berbagai motif dan latar belakang, terutama pertikaian yang bermotif SARA.
Muhammadiyah merasakan betul keikhlasan seorang Jusuf Kalla dalam menyemen segmen-segmen sosial yang mulai menunjukkan gelagat retak.
Keikhlasan itulah yang membuat Jusuf Kalla tak hirau dengan harga yang harus dibayarnya untuk mendamaikan anak-anak manusia yang bertikai.
Muhammadiyah dan NU telah menemukan pangkalan yang sama, tempat bertolak dan berlabuh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Anugerah Muhammadiyah ke Jusuf Kalla bukan sekedar penghargaan personal ke diri Jusuf Kalla, tetapi isyarat jelas dari Muhammadiyah ke bangsa kita. Sebuah petunjuk bahwa martabat manusia itu sangat tinggi nilainya, melampaui kepentingan sesaat untuk kenikmatan seketika.
Mendamaikan orang itu adalah ibadah yang melampaui nilai ibadah sodakah dan sejumlah ibadah lainnya.
Anugerah Muhammadiyah ke Jusuf Kalla adalah signal kuat dari organisasi ini bahwa sekat-sekat pemisah antara Muhammadiyah dan NU, kini sudah tiada lagi.
Baik Muhammadiyah, maupun NU, tegak dalam pangkalan yang sama bahwa setiap orang yang yang ikhlas menyemen keretakan, adalah pahlawan kemanusiaan yang patut diberi penghargaan.
Muhammadiyah dan NU berjalan seiring dengan pandangan yang sama bahwa konflik anak-anak bangsa, terutama yang bermotif SARA, bisa dihentikan dengan pandangan holistik dan universal: martabat manusia adalah di atas segala kepentingan.
Pesan kuat Muhammadiyah melalui penghargaan ke Jusuf Kalla, yang diamini oleh NU tersebut, terasa kian relevan sekarang ini.
Tak pelik kita menelisik, betapa dahsyatnya arus kepentingan politik dari sejumlah politisi tuna akhlak dan defisit moral, yang dengan enteng menggunakan agama untuk mengoleng kapal yang bernama bangsa Indonesia ini.
Agama seolah menjadi barang komoditi yang dijajakan dengan enteng, mengikuti hukum ekonomi: supply and demand.
Kita tengah menyaksikan dan mengalami, orang dengan gampang mengklaim kebenaran dan menutup pintu adanya kemungkinan kebenaran dari orang lain.
Agama jadi instrumen pembenaran atas klaim kebenaran yang dibuatnya, dan juga di saat yang berbarengan, agama dijadikan instrumen untuk menegasi kebenaran orang atau kelompok lain.
Dengan agama, karena itu, surga menjadi barang murah yang dijajakan dengan gampang. Di sinilah hulu persoalan. Di sinilah pangkal konflik komunal itu. Semua membawa agama untuk mengklaim kebenaran dan lalu menjanjikan sorga bagi siapa yang ikut dengan klaim kebenaran tersebut.
Muhammadiyah ingin menghentikan itu. NU tidak cocok dengan cara tersebut. Keduanya berprinsip bahwa agama itu adalah rahmatan lil alamin. Dalam perspektif inilah Muhammadiyah Award ke Jusuf Kalla itu, seyogianya kita tempatkan.
Dalam perang atau konflik, terutama perang-konflik yang berkaitan dengan etnis, ras, dan agama, damai sangat sulit diwujudkan. Tapi lebih sulit lagi menemukan orang yang bisa mendamaikan. Muhammadiyah telah menemukan orang yang bisa mendamaikan orang lain, Jusuf Kalla.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.