JAKARTA, KOMPAS.com - Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto mengatakan, selama masa kampanye yang telah berjalan sekitar dua bulan ini, kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden tak menunjukkan pertukaran ide dan gagasan.
Arif menilai, yang terjadi saat ini justru saling serang, saling melemahkan, adu nyinyir, dan saling lapor ke polisi.
Menurut dia, kampanye yang sejatinya menampilkan pertautan komitmen politik antara pemilih dengan capres-cawapres, menjadi semakin jauh dari harapan.
“Kampanye yang dangkal dengan gagasan. Penyampaian tidak substansial, mengada-ngada, superartifisial,” kata Arif di D Hotel, Jakarta Pusat, Rabu (21/11/2018).
Arif menilai, masa kampanye hingga saat ini lebih banyak diisi olok-olok daripada menawarkan visi, misi, dan program kerja pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Baca juga: Demi Kemenangan Prabowo, Relawan Rela Rogoh Kocek Pribadi untuk Kampanye
Pasangan capres dan cawapres, menurut dia, belum menawarkan program karena cenderung reaksioner.
“Kritik tidak berdasar, tanpa data akurat, sekedar untuk memukul lawan,” ujar Arif.
Arif mengemukakan, tim kampanye gagap menerjemahkan visi menjadi program yang lebih konkret.
Selain itu, para kandidat capres-cawapres juga minim terobosan bagi kampanye cerdas dan kreatif.
Politisasi suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dinilainya juga terus menjebak politik nasional dalam kubangan kebencian.
“Polarisasi politik sudah berlangsung 5 tahun Jokowi-Prabowo merembes ke masyarakat nyaris konflik horizontal antara pendukung A dan pendukung B,” ujar Arif.
Baca juga: Hasto: Kampanye Presiden Harus Diisi dengan Hal Positif
Menurut Arif, politisasi SARA hanya bagian dari potret lebih besar “politik olok-olok".
Hal itu, kata Arif, menunjukkan sempitnya pola pikir, intoleransi, dan instrumentalisme hukum untuk perebutan kekuasaan.
“Bagian mana kampanye yang meningkatkan kecerdasan masyarakat? Saya melihat sebaliknya asumsinya rasionalitas pemilih dikangkangi hasrat kekuasaan para elit yang membuat politik kita irasional,” kata Arif.
Arif mengatakan, dibutuhkan aturan main kampanye yang lebih memadai dari penyelenggara pemilu, apalagi otoritas yang dimiliki saat ini lebih kuat dibandingkan lima tahun lalu.