MERUJUK pendapat Jurgen Habermas, filosof Jerman, kekuatan argumen yang bersandar pada rasionalitas merupakan roh bagi demokrasi.
Prinsip dasarnya, kekuasaan dalam sistem demokrasi mendapatkan legitimasi ketika semua keputusan yang diambil lolos uji dalam diskursus publik sehingga dapat diterima secara intersubjektif oleh semua warga negara.
Hal tersebut mengandaikan adanya warga negara yang rasional, cerdas, dan argumentatif dalam menguji dan memperbincangkan keputusan-keputusan pemerintah tersebut.
Jadi dalam praksis demokrasi, terjadinya diskursus (adu argumentasi yang sehat dan objektif) dan tersedianya warga negara yang rasional dalam melahirkan diskursus merupakan prasyarat bagi lahirnya kehidupan demokrasi yang sehat.
Ruang publik adalah tempat semua kebijakan diuji oleh warga negara, itu dalam artian pasif. Dalam artian aktif, warga negara dengan kekuatan rasio dan argumentasinya, juga bisa menyodorkan opini dan program kepada pemerintah melalui saluran demokrasi yang tersedia.
Di kala rasionalitas lebih mengemuka, maka pertentangan opini di tengah masyarakat berjalan dinamis, penuh warna dan menggairahkan. Perdebatan yang sehat akan melahirkan gagasan brilian untuk kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat.
Kebenaran ujaran agama, bahwa perbedaan itu rahmat, akan kita temui dalam diskursus rasional semacam ini. Dengan kata lain, rasionalitas sejatinya adalah anak kandung demokrasi.
Demokrasi berjalan sehat ketika terjadi perang ide dan program, yang berbasis pada kekuatan argumentasi nan rasional-logis, tentu dalam upaya mewujudkan cita-cita demokrasi, yaitu demi kesejahteraaan rakyat yang seluas-luasnya.
Demokrasi nihil tanpa rasionalitas. Rasionalitas pun sulit berkembang dalam dunia politik tanpa demokrasi. Demokrasi tanpa rasionalitas akan terjerumus kepada diktatoriat dan fasisme.
Dalam pemerintahan diktator yang berlaku adalah kekuasaan yang powerfull, memaksa, menindas. Tak ada tempat bagi suara yang mengritik pemerintah.
Dalam fasisme yang dituntut adalah kepatuhan. Ide dan argumentasi tak dibutuhkan dalam dikatoriat dan fasisme. Rakyat boleh berpendapat kalau diminta, tapi ide tersebut tak boleh dilempar ke publik kecuali sudah disetujui oleh yang berkuasa.
Lantas, apa yang terjadi belakangan ini? Mengapa begitu gaduh, tanpa ada satu pun penengah yang berdiri untuk mencerahkan? Mengapa yang berlangsung saat ini justru emosi-emosi yang dibalut dengan rasionalitas?
Raibnya rasionalitas dalam politik melahirkan sebuah istilah populer dalam perbendaharaan kamus politik, yaitu post-truth, kata yang beberapa tahun belakangan tenar di pelataran literasi media. Kata ini digelari Word of The Year 2016 oleh Oxford Dictionary.
Menurut Llorente (2017), istilah post-truth merujuk pada kondisi sosial-politik di mana objectivity and rationality give way to emotions, or to a willingness to uphold beliefs even though the facts show otherwise (objektivitas dan rasionalitas memberi jalan kepada emosi, atau keinginan untuk berpihak pada keyakinan meskipun fakta menunjukkan sebaliknya).
Di era post-truth, tulis Fransisco Rosales (2017), apa yang tampaknya benar, menjadi lebih penting daripada kebenaran itu sendiri. Kebenaran yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang bersumber pada rasio, fakta, dan objektivitas.