JAKARTA, KOMPAS.com - Persaingan antara dua pasangan calon presiden dan wakil presiden saat ini dinilai masih jauh dari substantif. Perdebatan baru sampai pada adu melontarkan kalimat kontroversial.
Sebut saja "tampang Boyolali", "politisi sontoloyo", "tempe setipis ATM", hingga yang paling baru ada "politik genderuwo". Istilah-istilah itu menciptakan polemik dan perdebatan panjang masyarakat.
Perdebatan itu menjalar hingga media sosial. Di dunia maya, perdebatan nirsubstansi yang bercampur dengan hoaks kian membuat makna kampanye menjadi bias.
Direktur Eksekutif Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo mengatakan akibat keramaian ini, visi misi calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menjadi tidak bisa tersampaikan.
Baca juga: Soal Dana Kelurahan, Politisi Sontoloyo, dan Klarifikasi Jokowi...
"Semuanya masih sibuk dengan hoaks. Itu noise, itu bikin bising, dan saya khawatir ini membuat swing voters tidak berminat," ujar Agus di Kantor PARA Syndicate di Jalan Wijaya Timur, Jumat (9/11/2018).
Padahal, pernyataan-pernyataan kotroversial itu tidak akan berdampak banyak bagi pasangan calon. Baik pendukung Prabowo-Sandiaga dan Jokowi-Ma'ruf akan membahas pernyataan kontroversial itu di kalangan mereka saja.
"Oleh karena itu seharusnya kampanye simpatik yang lebih dominan," ujar Agus.
Peran media massa
Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas Tri Agung Kristianto menjelaskan bahwa media massa memiliki tugas untuk meminimalisasi hal-hal yang tidak konstruktif. Kata dia, media massa tidak hanya bertugas menyampaikan informasi, melainkan juga membangun masyarakat.
"Sekarang tugas wartawan tidak ringan. Tidak sekadar mendengar omongan orang. Wartawan punya tugas meng-create masyarakat menjadi lebih baik," kata Tri.
Pemimpin Redaksi Harian Republika Irfan Junaidi mengatakan media konvensional yang ada di Indonesia kini sudah jauh lebih baik. Bahkan, kata dia, media online sudah tidak lagi adu cepat berita.
"Dan memang harus berubah paradigma dari cepat-cepatan menjadi valid-validan," kata dia.
Baca juga: Tim Jokowi-Maruf Minta KPAI Aktif Cegah Pelibatan Anak dalam Kampanye Pilpres
Irfan mengatakan media juga sudah lebih baik dalam mengurangi kegaduhan di media sosial. Misalnya dengan menyediakan artikel pengecekan fakta. Hal ini bisa meluruskan hoaks yang beredar di media sosial. Termasuk informasi terkait pasangan capres dan cawapres.
"Jadi memang itu, posisi media memang harus menjadi penjernih," kata Irfan.
Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo menambahkan, sudah saatnya diskusi terkait Pilpres berubah dari ujaran kebencian menjadi ujaran optimisme. Visi dan misi harus menjadi poin yang diperdalam dua pasangan calon dalam Pilpres ini.
"Dan media massa bisa menjadi kekuatan baru untuk membuat tahun politik ini menjadi lebih baik," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.