KOMPAS.com – Banyak orang berpikir pemerkosaan terjadi karena faktor fisik yang ditunjukkan korban, mulai dari pakaiannya yang seksi atau tingkah lakunya yang dinilai centil.
Ada pula yang menganggap pemerkosaan terjadi karena kondisi yang memungkinkan, sehingga pelaku merasa aman untuk melancarkan aksi pemerkosaan.
Namun, menurut organisasi perlindungan perempuan Rifka Annisa, penyebab utama terjadinya pemerkosaan adalah ketimpangan relasi kuasa yang terjadi antara pelaku dan korban yang terlibat.
Relasi kuasa itu misalnya terjadi antara dosen dengan mahasiswa, orangtua dengan anak, artis dengan fans, bos dengan karyawan, rentenir dengan pengutang, dan sebagainya. Bahkan, bisa saja relasi kuasa terjadi antara seseorang dengan orang yang disukai atau dikaguminya, meskipun tak punya hubungan langsung.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa, sebagaimana disampaikan juru bicaranya, Defirentia One Muharomah kepada Kompas.com, Kamis (8/11/2018) pagi.
"Dalam penelitian Rifka Annisa, hal dominan yang menyebabkan mengapa pelaku melakukan pemerkosaan adalah karena mereka merasa berhak. Pemerkosaan ini adalah masalah relasi kuasa yang timpang," kata Defi.
Baca juga: Komentari Pemerkosaan, Hati-hati “Rape Culture” dan Salahkan Korban
Jadi, menurut lembaga yang berbasis di Yogyakarta itu, kurang tepat jika ada yang menyimpulkan pemerkosaan terjadi hanya karena adanya aspek rendahnya moral dan liarnya nafsu birahi.
Adanya kuasa yang dimiliki pelaku atas korban membuat pelaku merasa berhak dan tidak bersalah ketika melakukan tindakan biadabnya.
"Banyak kasus pemerkosaan di Rifka Annisa yang pelakunya ayahnya sendiri, teman, pacar, tetangga, guru, dosen, dan orang-orang dekat yang justru dikenal oleh korban," kata Defi.
Hal itu juga dibenarkan oleh Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia, Indry Oktaviani.
"Karena pelaku selalu berkuasa atas korban. Bukan berarti kedudukannya lebih tinggi ya, tapi karena pelaku menguasai korban," kata Indry.
Defi menyebut penting bagi perempuan untuk memiliki kemampuan multi level approach. Ketegasan dan keberanian diharapkan ada dalam setiap diri perempuan agar terhindar dari hal-hal yang mengancam keselamatan mereka dalam hal seksual.
"Perempuan harus berdaya, agar berani menolak dan bertindak tegas. Inilah pentingnya relasi yang setara. Sebagai perempuan kita harus paham soal consent dan power untuk bisa mencegah kekerasan seksual," ucapnya.
Jika tindak kekerasan seksual sudah terlanjur terjadi, perempuan juga sebisa mungkin harus segera bangkit dari keterpurukan dan berani mengambil tindakan tegas.
Deperesi dan tekanan psikologis yang dialaminya secepat mungkin harus diselesaikan dan bergerak menegakkan keadilan.
"Dan ketika sudah terjadi, perempuan harus berani bertindak. Untuk itulah pentingnya support system dan perlindungan bagi penyintas," ujar Defi.
Baca juga: Akibat "Rape Culture", Masyarakat Dinilai Berperan Langgengkan Pemerkosaan
Lingkungan yang mendukung keberadaan penyintas masih sulit ditemukan dalam masyakat kita saat ini. Namun, hal itu bukan berarti tidak bisa terbentuk.
Melalui edukasi yang tepat dan berkelanjutan, masyarakat bisa diliterasi apa yang harus dan tidak boleh mereka lakukan, jika lingkungannya ada yang mengalami pelecehan atau kekerasan seksual.
Dengan begitu, penyintas akan merasa aman dan memiliki banyak kekuatan untuk mengungkapkan apa yang ia alami sebelumnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.