Dampak buruk yang dapat timbul dari kebiasaan melumrahkan pemerkosaan dan menyalahkan korban dapat menyebabkan masalah berkepanjangan.
Adapun, masalah itu seperti menyelamatkan pelaku dari rasa bersalah, kemudian menghancurkan kondisi psikologis korban, sulitnya pengungkapan sebuah kasus pemerkosaan, hingga pada akhirnya kejadian serupa kembali terulang dan terulang.
"Korban semakin terpojokkan, ia enggan berbicara. Bahkan dalam beberapa kasus, korban tidak langsung melapor karena tekanan psikologis dan dipojokkan oleh rape culture di sekitarnya," ujar Defi.
“Justru kebiasaan kita yang tidak mendukung korban tersebut menyebabkan korban semakin trauma dan menanggung sendiri dampak kekerasan seksual yang dialaminya," Defi melanjutkan.
Baca juga: Geram Wanita Selalu Disalahkan, Seorang Seniman Ciptakan Jubah Anti-pemerkosaan
Meski tidak mudah dan dibutuhkan partisipasi banyak pihak, menghilangkan praktik pelanggengan pemerkosaan di masyarakat masih mungkin untuk dilakukan.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk meniadakan praktik rape culture di tengah masyarakat. Upaya itu mulai dari membenahi diri sendiri, mengedukasi lingkungan, hingga mendesak pihak berwenang untuk mengubah aturan hukum yang kurang sesuai.
"Mulai dari hal kecil, misalnya tidak melakukan candaan seksual (sexist joke), tidak menyalahkan korban (victim blaming), dan tidak menganggap remeh tindakan seksual apa pun," Defi menjelaskan.
Masyarakat yang selama ini tidak menyadari kebiasaannya sebagai sesuatu yang salah juga perlahan harus dicerahkan dan diedukasi dengan tepat.
Ada konsekuensi buruk berkepanjangan dari kebiasaan salah yang secara tidak sadar mereka lakukan.
Di ranah hukum, Indry dari Koalisi Perempuan menyebutkan, ada salah satu pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kurang tepat dan harus segera diperbaiki.
"Kalau undang-undang dan peraturan masih berpihak pada pelaku, maka korban akan selalu menjadi pihak yang salah. Coba buka KUHP Pasal 285, perkosaan adalah jika terjadi penetrasi penis ke dalam vagina dan dilakukan dengan kekerasan dan/atau ancaman kekerasan," kata Indry.
Menurut dia, definisi pemerkosaan yang ada di peraturan itu dinilai terlalu sempit. Padahal, pemerkosaan dapat diartikan pada tindakan pelecehan atau kekerasan seksual yang lebih luas.
"Juga kenyataan bahwa anal atau oral seks juga bentuk yang serupa dengan penetrasi vaginal. Jadi, seharusnya penetrasi anal dan oral juga masuk dalam bentuk perkosaan," kata Indry.
Menurut dia, tidak semua ancaman bisa dibuktikan menggunakan penjelasan yang tertera di KUHP. Ada pula pemerkosaan yang dilakukan dengan bujuk rayu.
Selain itu, ancaman juga tidak selalu berbentuk fisik. Bisa juga bentuk ancaman seperti meluluskan ujian, menyebarkan foto korban dalam kondisi tidak pantas juga dapat disebut sebagai ancaman yang mengerikan untuk korban. Akan tetapi, hal itu tidak termaktub dalam penjelasan peraturan hukum yang saat ini ada.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.