JAKARTA, KOMPAS.com - Keputusan Yusril Ihza Mahendra menjadi pengacara bagi pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019 mengejutkan banyak pihak.
Sebab, selama ini Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu kerap berada pada posisi yang berlawanan dengan Jokowi.
Jejak Yusril yang berada pada posisi bersebrangan dengan Jokowi bisa dilihat tak lama setelah Pemilihan Presiden 2014 selesai digelar.
Saat itu, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tak terima dengan hasil pilpres yang dimenangkan oleh Jokowi-Jusuf Kalla.
Prabowo-Hatta memilih menempuh jalur konstitusional ke Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Alasan Jokowi-Maruf Gandeng Yusril Ihza Mahendra Jadi Pengacaranya
Yusril dipercaya oleh Prabowo-Hatta untuk memberi keterangan sebagai ahli dalam persidangan di MK.
Dalam keterangannya, Yusril saat itu meminta MK jangan menjadi lembaga kalkulator yang berpatokan pada perhitungan angka-angka hasil pemilu.
Ia menilai, MK seharusnya memainkan peran lebih substansial dalam menangani perselisihan hasil pemilihan umum.
"Jika hanya mempermasalahkan penghitungan suara, MK akan menjadi lembaga kalkulator, karena yang dimasalahkan hanya berkaitan dengan penghitungan suara-angka belaka tanpa menilai apakah perolehan suara itu dilakukan dengan atau tanpa pelanggaran sistematik terstruktur serta masif atau tidak,” kata Yusril saat itu.
Yusril menilai, MK yang telah berdiri lebih dari satu dekade harusnya bisa memutuskan perkara ke arah yang lebih substansial yakni terkait legalitas dan konstitusionalitas pemilu.
Baca juga: Yusril Jadi Pengacara Jokowi-Maruf, Bagaimana dengan PBB?
MK harus bisa melihat apakah KPU telah melaksanakan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
"Karena tanpa itu siapapun yang terpilih presiden dan wakil presiden akan berhadapan dengan krisis legitimasi yang akan berakibat terjadinya instabilitas di negara ini. Ada baiknya dalam memeriksa PHPU presiden dan wakil presiden kali ini Mahkamah sebaiknya melangkah ke arah itu," ujar Yusril.
Pada akhirnya, saat itu MK memutuskan menolak gugatan Prabowo-Hatta.
Jokowi-JK tetap dinyatakan sebagai pemenang pemilu dan tak lama kemudian dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
Awal medio 2015, Yusril kembali berada pada posisi yang berhadapan dengan Jokowi.
Kali ini, Yusril memutuskan menjadi pengacara Aburizal Bakrie untuk melawan salah satu pembantu Jokowi, Yasonna H Laoly.
Cerita dimulai saat dua kubu di Partai Golkar menggelar Musyawarah Nasional di waktu dan tempat yang berbeda.
Baca juga: Yusril: Kalau Jokowi-Maruf Dihujat dan Dicaci, Saya Bela
Munas yang digelar di Bali menetapkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum dan Idrus Marham sebagai sekretaris jenderal.
Adapun munas di Jakarta, yang digelar setelah Munas Bali, menetapkan Agung Laksono sebagai ketua umum dan Zainuddin Amali sebagai sekretaris jenderal.
Pada akhirnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memilih mengesahkan Golkar kubu Agung yang telah menyatakan diri beralih dari partai oposisi menjadi partai pendukung pemerintah.
Aburizal yang tak terima dengan putusan Menkumham itu melakukan gugatan hukum lewat Yusril sebagai pengacaranya.
Langkah hukum ditempuh lewat jalur pengadilan negeri (PN) hingga pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Baca juga: Jadi Pengacara Jokowi-Maruf, Yusril Tegaskan Tak Tergabung dalam Timses
Yusril saat itu juga meminta Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja Yasonna.
Menurut dia, Yasonna telah bertindak menyalahi aturan dengan mengakui kepengurusan Partai Golkar kubu Agung Laksono.
"Yasonna telah membuat kesan pemerintah Jokowi tukang adu domba parpol demi keuntungan diri sendiri," ujar Yusril kala itu.
Setelah berbagai upaya hukum berjalan, pada akhirnya kubu Aburizal dan Agung Laksono menutuskan untuk berdamai atau islah.
Keduanya sepakat untuk menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa di Bali.
Kesepakatannya, Aburizal dan Agung sama-sama tak mencalonkan diri sebagai ketua umum di Munas itu.
Setya Novanto terpilih dalam Munas yang digelar pada pertengahan Mei 2016 itu.