JAKARTA, KOMPAS.com - Untuk ketiga kalinya semenjak 2014 dan 2017, usulan agar APBN membiayai penuh saksi Pemilu dari partai politik, kembali muncul di publik. Usul yang dilontarkan Komisi II DPR RI itu pun ramai-ramai mendapat penolakan, khususnya dari civil society.
Pengamat politik LIMA Ray Rangkuti mengatakan, keberadaan saksi partai politik pada Pemilu bukanlah kewajiban undang-undang. Oleh sebab itu, tidak mungkin APBN membiayai sesuatu yang tidak mempunyai dasar hukum.
"Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pemerintah memang wajib memfasilitasi (saksi parpol). Tapi bukan kewajiban. Jadi parpol itu boleh mengajukan saksi, boleh juga tidak," ujar Ray dalam konferensi pers penolakan APBN membiayai saksi parpol di bilangan Jakarta Timur, Kamis (18/10/2018).
Saksi parpol diatur pada Pasal 360 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu, yakni berbunyi, "pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi partai politik peserta pemilu dan saksi pasangan calon.
Baca juga: Ini Alasan Komisi II Minta Parpol Tak Dibebani Dana Saksi Pemilu
Adapun, pada ayat (6) disebutkan, "saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyerahkan mandat tertulis dan partai politik peserta pemilu atau pasangan calon/ tim kampanye."
"Jadi logika kita, sesuatu yang tidak diatur di dalam undang-undang kewajibannya sebagai perangkat dari negara, kok tiba-tiba diusulkan dibiayai oleh negara, dari mana logikanya?" lanjut Ray.
Saksi yang diamanatkan oleh UU Pemilu hanyalah saksi dari Badan Pengawas Pemilu atau yang disebut 'Pengawas Tempat Pemungutan Suara'.
Pasal 89 ayat (2) UU Pemilu menyebut bahwa, "Bawaslu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota, Bawaslu Kelurahan/ Desa, Panwaslu LN dan Pengawas TPS."
Di Pasal 91 ayat 7 ditegaskan kembali bahwa "Pengawas TPS berkedudukan di setiap TPS."
Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow menambahkan, karena tidak ada dasar hukumnya, maka dana saksi parpol tersebut pun nantinya akan sulit memenuhi azas akuntabilitas.
"Misalnya, apakah dana itu benar-benar digunakan untuk saksi? Bagaimana memastikan itu? Jangan-jangan dipakai untuk kepentingan lain?" ujar Jeirry dalam konferensi pers yang sama.
Apalagi, ada partai politik yang jumlah calegnya tidak sesuai kuota dalam suatu daerah pemilihan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah saksi parpol di daerah pemilihan tersebut tetap dibiayai? Tentu akan berdampak pada persoalan hukum apabila dana tetap mengalir.
Baca juga: Dana Saksi Pemilu Seharusnya Dibebankan ke Partai Politik, Bukan Pemerintah
Apabila partai politik ingin kualitas pengawasan Pemilu ditingkatkan, salah satu solusinya bukan meminta saksinya dibiayai APBN, melainkan penguatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) secara kelembagaan.
"Mendingan parpol itu berkoordinasi dengan Bawaslu. Bawaslu lah yang harusnya diperkuat, bukan malah sesuatu yang tidak diatur dalam undang-undang," ujar Jeirry.
Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto juga berpendapat senada. Namun ia lebih menyoroti karakter partai politik di Indonesia yang semakin lama semakin membebani negara.