Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Mitos Efek Jera Hukuman Mati

Kompas.com - 12/10/2018, 16:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Iqrak Sulhin

TANGGAL 10 Oktober adalah Hari Anti-hukuman Mati Sedunia. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih melaksanakan hukuman mati.

Meskipun banyak penolakan dari berbagai kalangan, pemerintah Indonesia tetap memberlakukan hukuman mati karena percaya bahwa hukuman mati efektif dalam menciptakan rasa takut di masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan yang sama.

Dalam sebuah buku yang berjudul "Politik Hukuman Mati di Indonesia", saya menulis bahwa belum ada penelitian di Indonesia yang secara khusus dilakukan untuk mengukur efek penggentar ini. Selain tidak ada data empiris, saya juga menunjukkan banyak argumentasi dan penelitian di dunia yang menunjukkan bahwa efek jera hukuman mati hanyalah mitos.

Dasar pemikiran hukuman mati

Pemikiran tentang efek penggentar hukuman mati dalam penologi, cabang ilmu kriminologi yang mempelajari penghukuman terhadap kejahatan, muncul beriringan dengan menguatnya pengaruh utilitarianisme klasik abad ke-18 terhadap sistem hukum Barat.

Utilitarianisme klasik adalah sebuah pendekatan teori etika yang diperkenalkan filsuf Jeremy Bentham dan dan John Stuart Mill.

Para pemikir hukum sebelumnya memandang penghukuman sebagai sebuah kewajiban moral, sebagaimana dijelaskan oleh filsuf Immanuel Kant di dalam "Filsafat Hukum" (The Philosophy of Law).

Kant mengatakan, penghukuman bukan sebuah upaya untuk mempromosikan kebaikan, baik terhadap pelaku maupun terhadap masyarakat sipil, melainkan hukuman bagi seseorang yang telah melakukan kejahatan.

Berbeda dengan itu, utilitarianisme klasik mengubah perspektif penghukuman ke arah tujuan atau konsekuensinya. Dalam pendekatan utilitarianisme, sebuah bentuk hukuman dibenarkan apabila memberi manfaat bagi banyak orang.

Jika kejahatan dapat dicegah sehingga tercipta keamanan masyarakat, hukuman tersebut boleh diberikan pada pelaku kejahatan.

Hukuman mati kemudian dilihat sebagai bentuk hukuman yang efektif dalam menakut-nakuti. Nilai dari hukuman mati tidak terletak pada "tindakan membunuh secara legal atas perintah pengadilan", tetapi pada manfaat yang dihasilkan, yaitu mencegah kejahatan karena hukuman tersebut membuat gentar untuk melakukan tindakan kejahatan.

Hukum mati di Indonesia

Hukuman mati di Indonesia diberlakukan sejak masa kolonial. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels menetapkan hukuman mati sebagai strategi membungkam perlawanan penduduk jajahan.

Dasar hukum bagi hukuman mati diformalkan dengan ditetapkannya hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Indonesie atau WvSI) pada 1 Januari 1918. Ketentuan WvSI ini dipertahankan menjadi hukum pidana sejak kemerdekaan Indonesia.

Dari zaman kolonial hingga saat ini, praktik hukuman mati masih dijalankan di Indonesia meskipun banyak pihak yang menentang hukuman ini. Penolakan terutama berasal dari kalangan masyarakat sipil, seperti Amnesty Internasional, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).

Alasan mereka berkaitan dengan hukuman mati sebagai hukuman yang bertentangan dengan hak asasi manusia hingga belum terjaminnya peradilan yang adil. Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga merekomendasikan peninjauan kembali penerapan hukuman mati di Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Nasional
CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah Sejak 1999

CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah Sejak 1999

Nasional
PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

Nasional
Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Nasional
Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Nasional
Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Nasional
Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam Atas Inisiatif Prabowo

Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam Atas Inisiatif Prabowo

Nasional
Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Nasional
Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Nasional
CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

Nasional
Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Nasional
Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Nasional
Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Nasional
Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com