Hingga 1998, film bergenre docudrama ini selalu ditayangkan melalui saluran televisi nasional. Bahkan sebelumnya, pemerintah mewajibkan semua siswa-siswi di sekolah untuk menonton film ini di bioskop.
Tak heran, pesan yang disampaikan melalui rangkaian cerita yang dibangun melekat erat di ingatan para penontonnya. Dalam hal ini, penontonnya ialah generasi yang besar di era akhir '80-an dan periode '90-an.
Kompas.com mencoba bertanya pada sejumlah orang yang pernah menyaksikan film berdurasi lebih dari 4 jam ini.
Beberapa di antaranya mengaku percaya penuh pada cerita kekejaman PKI yang dibawakan film itu. Salah satunya diutarakan Achmad Zacky (35).
"Percaya, PKI itu kejam. Kalau saat ini masih ada yang seperti itu, rasanya dendam sekali," ujar Zacky.
Hal serupa disampaikan oleh Anik (47) yang mengaku sudah berulangkali menonton film itu.
"Tidak tahu aslinya, tahunya kacau. Ya percaya saja, memang itu berdasarkan tragedi G30S/PKI," kata Anik.
Di sisi lain, ada sebagian masyarakat yang memahami film tersebut sebagai bentuk propaganda pemerintah. Salah satunya Fachrudin (29).
Akan tetapi, awalnya Fachrudin percaya dengan penggambaran dalam film itu.
"Reaksi pertama nonton saat masih SD kelas 1 enggak takut, terus percaya kalau PKI itu jahat," kata Fachrudin.
Seiring tumbuh dewasa, Fachrudin kemudian mendapatkan cerita dari salah seorang yang berusia tua mengenai sejarah periode 1965-1966.
"Kemudian waktu baca buku Tan Malaka dan lihat film Senyap (2014), kayaknya apa yang dibilang Si Mbah benar," ucap dia, sambil tertawa.
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Heri (45) saat ditanyai pandangannya tentang film yang dibintangi Amoroso Katamsi dan Syubah Asa ini. Menurut Heri, film itu bernilai propaganda sejarah.
"Itu propaganda saja. Bapak-Ibu dulu sudah sering menceritakan tentang siapa Soekarno, siapa Soeharto. Jadi saya bisa menyebut siapa yang sebetulnya PKI, bukan yang digambarkan dalam film," ujar Heri.
Kembali ke pembahasan film, Bayu Prihantoro Filemon menilai, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI memang dapat memiliki dampak dalam kehidupan bermasyarakat di masa depan.
Dia mengaku ada kekhawatiran bahwa ketakutan yang selalu berulang setiap tanggal 30 September terus tertanam.
"Ini berdampak ke bagaimana kehidupan berdemokrasi negara kita dipahami dan diejawantahkan dalam keseharian kita. Apa sih yang lebih mengerikan dibanding hal-hal tersebut?" kata dia.
...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.