JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina memandang perlunya revisi Undang-undang tentang Pemilu.
Hal itu menyikapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018, yang memuat larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg).
Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg bertentangan dengan UU Pemilu.
Karena berdasarkan UU Pemilu, setiap orang yang memiliki riwayat pidana atau pernah menjadi terpidana dibolehkan mendaftar sebagai caleg namun wajib mengumumkannya ke publik.
"Kemarin kan perdebatannya orang-orang yang menolak, bukan karena semangatnya tapi karena larangan ini ada di level PKPU, seharusnya ada di undang-undang," kata Almas dalam diskusi di gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (25/9/2018).
Baca juga: Bawaslu Dorong KPU Umumkan Caleg Eks Koruptor di TPS
"Maka ke depan kita bersama dengan semua pihak mengupayakan larangan ini masuk dalam undang-undang pemilu legislatif," lanjut Almas.
Oleh karena itu, Almas menilai perlu dorongan yang konsisten dan kuat dari publik untuk tetap menyuarakan revisi undang-undang tersebut. Pasalnya, revisi undang-undang ini nantinya bisa mewujudkan parlemen yang bersih dalam jangka panjang.
"Ada agenda yang lebih panjang yaitu adanya parlemen yang lebih bersih dari korupsi," ungkap Almas.
Di sisi lain, kata dia, ke depannya partai politik juga bisa menyusun aturan khusus secara internal untuk melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg.
Baca juga: Presiden PKS Klaim Telah Ganti Caleg Eks Koruptor yang Masuk DCT
Menurut dia, komitmen menciptakan aturan itu bisa membawa nilai lebih bagi citra dan kinerja partai, publik selaku pemilih, dan legitimasi pemilu ke depannya.
"Peran dari parpol semakin diperlukan untuk kemudian menyediakan calon yang lebih bersih dan berintegritas agar pemilih semakin percaya kepada pemilu, semakin percaya dalam agenda pemberantasan korupsi, pembenahan parlemen ke depan dan mau menggunakan hak suaranya," papar dia.
Sebab, korupsi-korupsi yang belakangan ini terjadi secara sistemik sudah membuat kepercayaan publik terhadap parlemen semakin menurun. Hal itu muncul akibat ulah anggota-anggota legislatif yang melakukan kejahatan korupsi.
"Jadi saya rasa ke depan tidak hanya untuk membersihkan nama parpol tapi juga untuk membersihkan parlemen ke depannya," katanya.