JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meluncurkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019. IKP digunakan sebagai referensi dan acuan Bawaslu untuk mencegah potensi pelanggaran dan kerawanan Pemilu.
"IKP 2019 merupakan upaya sungguh-sungguh dari Bawaslu RI untuk melakukan pemetaan dan deteksi dini terhadap berbagai potensi pelanggaran dan kerawanan pemilu 2019," kata Ketua Bawaslu Abhan dalam sambutannya di peluncuran IKP 2019 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (24/9/2018).
Kerawanan pemilu dalam IKP didefinisikan sebagai segala hal yang menimbulkan gangguan dan berpotensi menghambat proses pemilihan umum yang inklusif dan benar.
Melalui IKP, diharapkan sengketa pemilu di daerah-daerah, terutama daerah dengan indeks kerawanan tinggi, dapat diminimalisasi.
"IKP digunakan untuk meminimalisir terjadinya sengketa pemilu karena adanya identifikasi potensi kerawanan sejak awal," kata Abhan.
IKP disusun berdasar penyempurnaan dari IKP sebelumnya, yang dilakukan di 34 provinsi meliputi 514 kabupaten/kota di Indonesia.
Penyempurnaan tersebut dilakukan melalui penelitian oleh Bawaslu dan sejumlah stake holder, seperti kementerian, lembaga, akademisi, dan pihak-pihak terkait lainnya.
Berdasar hasil penelitian yang digelar Juni-September 2018, ditemukan rata-rata skor IKP secara nasional berada di kategori sedang, yaitu 33-66. Tak ada daerah yang dinyatakan kategori rendah, atau dengan skor 0-33. Sedangkan kategori tinggi diukur dengan skor 66-100.
Baca juga: Bawaslu Imbau Publik dan Elite Parpol Tak Saling Fitnah dalam Kampanye
Dua kabupaten/kota mendapat skor kerawanan tertinggi. Dua daerah itu yakni Teluk Bintuni, Papua Barat dengan skor 73,50 dan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat 71,89.
Abhan menjelaskan, setiap provinsi memiliki karakteristik kerawanan yang berbeda. Namun, rata-rata potensi kerawanan pemilu 2019 menunjukkan, kerawanan pemilu paling banyak terkait dengan penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, serta terkait dengan dimensi kontestasi.
Selain dua isu tersebut, lanjut Abhan, ada sejumlah potensi kerawanan yang juga harus menjadi perhatian.
Misalnya seperti isu hak pilih, kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, ajudikasi keberatan pemili, pengawasan pemilu, representasj gender dan minoritas, hingga proses pencalonan.