Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herzaky Mahendra Putra
Pemerhati Politik

Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra. Mahasiswa Program Doktoral Unair

Demokrat, AHY, dan Peluang "Rebound" di 2019

Kompas.com - 19/09/2018, 18:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PARTAI Demokrat berusia 17 tahun, tepat pada 9 September 2018. Dalam usianya yang masih sangat muda, Partai Demokrat telah mengantarkan Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Republik Indonesia selama dua periode berturut-turut.

Ini merupakan satu pencapaian yang belum disamai oleh partai-partai politik yang berdiri setelah era Reformasi 1998.

Satu-satunya partai yang bisa melebihi pencapaian ini adalah Golkar yang sudah berusia 54 tahun dan itupun saat pemilihan presiden masih melalui MPR di Orde Baru.

Puncak kepercayaan publik kepada Partai Demokrat terjadi pada tahun 2009. Susilo Bambang Yudhoyono dipercaya oleh masyarakat Indonesia untuk kedua kalinya selaku Presiden Republik Indonesia, dengan 73,87 juta pemilih. Di DPR RI, Demokrat yang merupakan parpol pemenang pemilu memperoleh 148 kursi.

Partai Demokrat meskipun berhasil menorehkan prestasi gemilang di tahun-tahun awal berdirinya, tetap tak lepas dari siklus kehidupan. Ada fase naik, berarti ada fase turun.

Fase turun itu dialami Demokrat ketika Pileg 2014. Dari 21.703.137 pemilih pada 2009, Demokrat hanya meraih 12.728.913 pemilih pada 2014. Kursi di DPR RI pun menurun hingga 61 kursi. Dari partai pemenang pemilu, menjadi partai nomor empat.

Laiknya dalam kondisi menurun, moral kader Partai Demokrat pasca 2014 sempat stagnan. Posisi Presiden RI tidak lagi dipegang oleh kader mereka, parlemen pun tidak lagi mereka kuasai. Demokrat butuh terobosan agar siklus mereka kembali naik.

Momentum baru ini sempat mereka dapatkan ketika Agus Harimurti Yudhoyono, putra sulung SBY, memutuskan untuk terjun ke politik di pengujung 2016.

Agus meninggalkan karir militernya untuk ikut berebut kursi Gubernur DKI Jakarta 2017-2022. Kemunculan AHY, demikian sapaan akrab Agus, ketika itu memberikan harapan baru bagi Demokrat.

Hanya, ketidakberhasilan AHY merebut dukungan pemilih di Pilkada DKI Jakarta 2017 sempat membuat mental para kader turun kembali. Calon dari Demokrat dengan kualitas dan kapabilitas seperti AHY pun ternyata masih belum dipercaya publik untuk menjadi pemimpin di Jakarta.

Setahun setelah Pilkada Jakarta, AHY kembali membangkitkan moral para kader Demokrat. Tak kurang dari 22 provinsi dan 100 kota di Indonesia dikunjungi oleh AHY dalam waktu setahun.

AHY mencoba berbagi gagasan dan inspirasi, menyerap aspirasi masyarakat. Berawal dari mendirikan The Yudhoyono Institute, lalu mendapatkan amanah selaku Komandan Komando Satuan Tugas Bersama atau Kogasma Partai Demokrat, satgas pemenangan Pileg dan Pilpres 2019, AHY mencoba bangkit dari hasil pahit di Pilkada Jakarta 2017.

Usaha AHY pun menuai hasil. Nama AHY sempat muncul sebagai salah satu calon presiden potensial di Pilpres 2019. Bahkan, menurut beberapa survei di Maret-Juni 2018, AHY menempati posisi atas sebagai calon potensial wakil presiden Jokowi maupun Prabowo.

Elektabilitas tinggi AHY bahkan melebihi pencapaian beberapa ketua umum partai dan tokoh-tokoh politik senior yang memiliki jam terbang tinggi di dunia politik.

Prestasi ini pun sempat membuat Prabowo memilih AHY sebagai salah satu kandidat kuat cawapresnya.

Optimisme tinggi pun sempat kembali merebak di kalangan kader Partai Demokrat saat AHY digadang-gadang sebagai calon kuat cawapres Prabowo. Hanya, guratan takdir berkata lain.

Sehari sebelum penutupan pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden, koalisi parpol pengusung Prabowo memutuskan meminang Sandiaga selaku cawapres bagi Prabowo. Prabowo Subianto bersama Sandiaga Salahudin Uno pun bakal bertarung melawan pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam kontestasi Pilpres 2019.

Pertanyaan yang kemudian muncul, dengan kembali tidak ada kader Demokrat yang diusung sebagai capres atau cawapres di Pilpres 2019 laiknya Pilpres 2014, apakah Demokrat memiliki peluang rebound di Pileg 2019? Apalagi, tidak seperti tahun 2014, Pileg 2019 bakal dilaksanakan bersamaan dengan Pilpres 2019, dan atensi publik biasanya cenderung ke capres-cawapres, daripada ke caleg.

Lalu, apakah faktor AHY selaku the rising star di pentas politik nasional bisa memberikan dampak signifikan untuk menaikkan suara Demokrat di 2019? Mari kita ulas.

Tujuan bersama

Untuk bisa rebound, Partai Demokrat memerlukan tujuan jangka panjang bersama di antara para kadernya. Kekecewaan karena kembali tidak memiliki kader yang diusung di Pilpres 2019 laiknya Pilpres 2014, mesti dikapitalisasi ke arah yang positif.

Kegagalan mengusung kader sendiri di antaranya karena aturan ambang batas presiden yang baru diketok pada 2017, minimal 20 persen kursi di parlemen atau 25 persen suara nasional. Demokrat saat ini memiliki 10 persen kursi di parlemen.

Untuk bisa mengusung calon presiden sendiri, secara matematis, Demokrat mesti memiliki 15 persen kursi di DPR. Mengapa? Pertama, dengan 15 persen kursi, Demokrat hanya membutuhkan tambahan 5 persen dari partai lain.

Dengan kata lain, Demokrat hanya butuh minimal satu teman koalisi jika ingin mengusung pasangan calon presiden-wakil presiden ke depannya.

Pembagian porsi siapa capres dan cawapres pun bakal berjalan dengan lebih mudah karena satu partai misalnya mengusung kadernya sebagai capres, dan partai lain mengusung kadernya sebagai cawapres.

Berbeda dengan koalisi minimal tiga partai, bakal ada partai yang tidak "kebagian" posisi capres atau cawapres.

Di situasi seperti ini, potensi perpecahan cukup besar di internal koalisi, bahkan kemungkinan ada yang "menyeberang" ke kubu lain.

Kedua, jika memiliki 15 persen kursi parlemen, Demokrat bakal menjadi pemimpin dalam koalisi itu. Dengan demikian, dalam penentuan capres, Demokrat bakal memiliki peran dominan. Posisi inilah yang dinikmati PDI-P dan Gerindra dalam koalisi yang mereka pimpin di Pilpres 2019.

Untuk itulah, target yang diberikan SBY selaku Ketua Umum Partai Demokrat kepada AHY selaku Komandan Kogasma pada Februari 2017, yakni pencapaian suara 15 persen di Pileg 2019, harus ditekankan kembali sebagai tujuan bersama bagi para kader Partai Demokrat.

Dengan pencapaian 15 persen suara di Pileg 2019, sangat memungkinkan bagi Demokrat untuk mengusung kadernya sendiri selaku capres di Pilpres 2024.

Tujuan bersama ini mesti benar-benar digaungkan di internal Partai Demokrat agar para kader benar-benar memahami dan meresapi tentang pentingnya kemenangan di Pileg 2019.

Karena, di Pileg 2019 inilah para kader Demokrat seharusnya memiliki motivasi tinggi untuk berjuang memenangkannya sebagai pijakan menuju 2024.

Jika gagal menempatkan peraihan 15 persen suara di Pileg 2019 sebagai tujuan bersama para kadernya, langkah Demokrat untuk rebound sangatlah berat.

The coattail effect

Istilah yang mendadak populer jelang pendaftaran pasangan calon capres-cawapres periode 2019-2024 adalah the coattail effect. Makna yang sering disampaikan adalah partai yang kadernya menjadi capres atau cawapres bakal mendapatkan efek meningkatnya perolehan suara partai tersebut di pileg.

Ini karena capres dan cawapres bakal menjadi sorotan utama publik dan media, sehingga dengan sendirinya ekspos kepada partai asal capres-cawapres bakal meningkat drastis. Dengan ekspos meningkat, popularitas bakal naik drastis. Dan, diharapkan berujung pada elektabilitas yang ikut terangkat.

Berdasarkan pemahaman di atas, sebagian besar kader Demokrat merasa kecewa karena AHY batal menjadi cawapres Prabowo. Mereka merasa ketinggalan satu langkah dibandingkan Gerindra yang memborong kursi capres-cawapres karena tidak bakal ikut mendapatkan "efek tali ekor jas" untuk Pileg 2019.

Padahal, jika mencoba menyelami lebih dalam tentang makna the coattail effect, poin utamanya adalah keberadaan tokoh popular di suatu partai yang sedang mengikuti kontestasi di tingkat nasional bisa mengangkat popularitas dan elektabilitas anggota partai lain yang ikut dalam pemilihan di tingkat lokal.

Hanya saja, efek tersebut umumnya berlaku dalam segmen pemilih yang merupakan basis pemilih partai tersebut. Adapun untuk segmen swing voters, the coattail effect cenderung tidak berlaku.

Dalam konteks peluang Demokrat untuk rebound di 2019, apakah dengan tidak berlaganya AHY selaku simbol pemimpin baru di Partai Demokrat di Pilpres 2019, maka kader-kader Demokrat yang mengikuti kontestasi di Pileg 2019 tidak mendapatkan manfaat dari keberadaan AHY?

Berkaca dari Amerika Serikat, sebagai salah satu negara yang sering dijadikan studi kasus tentang the coattail effect, ada kecenderungan masyarakat memilih anggota Kongres dari partai tertentu di negara bagian mereka karena berharap capres dari partai tersebut menang di Pilpres.

Ini karena capres dipilih berdasarkan lebih banyaknya anggota Kongres dari partai yang sama dengan capres tersebut dipilih oleh publik, dibandingkan jumlah anggota Kongres dari partai capres lawannya. Ini karena Amerika Serikat menggunakan sistem electoral vote, bukan popular vote laiknya Indonesia.

Untuk studi kasus Indonesia, saat ini penentu seseorang bisa berlaga atau tidak di Pilpres adalah suara partai pengusung di Pileg sebelumnya.

Karena itu, jika berharap pendukung atau simpatisan AHY memilih Partai Demokrat dan caleg-calegnya, Demokrat perlu "menjual" harapan kepada publik, khususnya kepada pendukung dan simpatisan AHY yang terbukti di atas pemilih Demokrat saat ini menurut beberapa lembaga survei nasional. Harapan kalau ingin AHY berperan sentral dan menjadi pemimpin di tingkat nasional di periode 2024-2029, maka pilihlah Demokrat di Pileg 2019.

Karena itu, asosiasi yang kuat antara Demokrat dan AHY harus benar-benar dilakukan secara konsisten.

Asosiasi Demokrat dengan sosok SBY, selaku kader terbaik Demokrat yang pernah menjadi presiden dua periode berturut-turut, merupakan fakta sejarah yang tidak bisa dimungkiri. Hanya, perlu dikembangkan narasi yang lebih kuat ke depannya.

Demokrat masa kini dan mendatang adalah Demokrat yang dipimpin AHY, sosok pemimpin muda, cerdas, pejuang, adaptif, dan peduli serta mau mendengarkan rakyat. Bukan sekadar simpatisan dan warga yang rindu sosok SBY yang bakal merapat kembali ke Demokrat, melainkan kaum muda yang haus akan perubahan dan kehidupan lebih baik.

Jika harapan ini bisa dikelola dengan baik dan diterima oleh publik, Demokrat berpeluang besar untuk rebound di 2019.

Momentum pilpres

Setelah memiliki tujuan bersama dan sosok tokoh yang digadang-gadang sebagai pemimpin dan harapan baru, Demokrat mesti memanfaatkan momentum Pilpres 2019 untuk dapat rebound di Pileg 2019.

Superstar di Pilpres tetaplah pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sorotan utama memang tetap mengarah ke Prabowo-Sandiaga.

Tetapi, tetap saja Demokrat bakal bisa berdiri sama tegak dengan pasangan calon dan mendapatkan sentimen positif dari publik yang berujung ke peningkatan elektabilitas Demokrat, jika dapat menunjukkan peran dan kontribusi signifikan Demokrat dalam pemenangan Prabowo-Sandiaga. Dan, Demokrat memiliki modal untuk itu.

Pertama, SBY berhasil memimpin Indonesia selama dua periode, dengan kondisi makro ekonomi Indonesia yang tahan terhadap berbagai guncangan dari luar, maupun situasi sosial politik dan pertahanan keamanan yang stabil. Tidak ada ancaman perpecahan atau konflik sosial yang meluas. Malah, konflik menahun bisa dipadamkan, seperti Aceh dan Poso.

Pengalaman SBY dan Partai Demokrat bisa dioptimalkan untuk memastikan koalisi Prabowo-Sandi mengusung narasi positif dan konstruktif dalam tawarannya ke masyarakat Indonesia.

Bagaimana strategi dan peta jalan membuat ekonomi yang lebih stabil dan kuat, serta berkeadilan di periode 2019-2024, dengan tetap melanjutkan apa yang dicapai oleh pemerintahan saat ini?

Bagaimana mengelola perbedaan, terutama akibat meluasnya penggunaan media sosial dan reproduksi hoax yang merajalela, serta polarisasi yang meningkat dalam empat tahun terakhir ini?

SBY dan Demokrat tentunya sangat mumpuni berbicara tentang ini, karena keberhasilan SBY memimpin Indonesia selama dua periode. Konsep-konsep mendasar seperti ini harus menjadi salah satu prioritas dalam program yang ditawarkan koalisi Prabowo-Sandi.

Kedua, publik semakin jengah dengan narasi kebencian, ketakutan, dan pesimisme. Publik senang menjaga optimisme, meskipun tidak harus menghilangkan kekritisan.

Publik pun bosan dengan polarisasi dan pertengkaran mengenai isu-isu lama yang terus digoreng.

Hanya saja, ada pihak-pihak yang terus mereproduksi isu perpecahan bangsa secara masif bertamengkan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan mantra toleransi, maupun pihak-pihak yang terus mereproduksi isu pesimisme akan nasib bangsa ini.

Demokrat yang selama ini dikenal sebagai partai pluralis dan mengedepankan persatuan kesatuan bangsa, serta sosok Agus yang selalu konsisten menebar optimisme, bisa membantu meredam gorengan isu perpecahan bangsa dan isu pesimisme terhadap nasib bangsa yang dilakukan pihak-pihak yang terlibat dalam pusaran pertikaian selama ini.

Demokrat dan Agus bisa memainkan peran sebagai penyeimbang dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa, tidak terjebak dalam jeratan isu polarisasi dan pesimisme.

Jika komitmen Demokrat dan Agus ini bisa tertanam kuat dalam koalisi Prabowo-Sandiaga, simpati dan sentimen positif publik bakal mengalir deras. Bukan hanya untuk koalisi Prabowo-Sandi secara umum, melainkan juga kepada Demokrat dan AHY secara khusus.

Demokrat dan AHY pun bakal menjadi faktor pembeda di Pilpres 2019 ini, missing pieces bagi Prabowo dan koalisi parpol pengusungnya yang tidak dimiliki di Pilpres 2014.

Apresiasi tambahan bakal mengalir kepada Demokrat dan AHY karena tetap berjuang tulus dan sepenuh hati untuk pemenangan Prabowo-Sandi, meskipun bukan AHY ataupun kader Demokrat yang diusung sebagai capres-cawapres.

Narasi tetap teguh berjuang bukan hanya di saat menjadi pemimpin sangatlah disukai publik. Dan, peluang untuk rebound bagi Demokrat dan AHY di 2019 bakal membesar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Terima Nasdem, Prabowo: Surya Paloh Termasuk yang Paling Pertama Beri Selamat

Terima Nasdem, Prabowo: Surya Paloh Termasuk yang Paling Pertama Beri Selamat

Nasional
Partai Pendukung Prabowo-Gibran Syukuran Mei 2024, Nasdem dan PKB Diundang

Partai Pendukung Prabowo-Gibran Syukuran Mei 2024, Nasdem dan PKB Diundang

Nasional
MKMK: Hakim MK Guntur Hamzah Tak Terbukti Langgar Etik

MKMK: Hakim MK Guntur Hamzah Tak Terbukti Langgar Etik

Nasional
Ratusan Bidan Pendidik Tuntut Kejelasan, Lulus Tes PPPK tapi Dibatalkan

Ratusan Bidan Pendidik Tuntut Kejelasan, Lulus Tes PPPK tapi Dibatalkan

Nasional
Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Nasional
Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau 'Ge-er'

Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau "Ge-er"

Nasional
Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Nasional
Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Nasional
JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Nasional
BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com