JAKARTA, KOMPAS.com - Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Pasal 4 ayat 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia lebih berpihak pada aturan yang bersifat prosedural.
Pasal tersebut mengatur larangan mantan napi kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif.
"Tidak salah memang, tetapi jelas kita semakin menjauhkan diri dari hukum yang progresif," ujar Pakar Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar dalam pesan singkat, Sabtu (15/9/2018).
Ditinjau dari perspektif filosofis, putusan MA tersebut telah membenturkan asas kepastian hukum dengan asas keadilan dan kemanfaatan.
Baca juga: Putusan MA: Eks Koruptor Boleh Nyaleg
Hal tersebut menunjukkan bahwa majelis hakim MA yang memutus uji materi PKPU lebih berpihak pada prosedur ketimbang rasa keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
"Dengan tanpa maksud mengkultuskan seseorang, saya yakin jika Hakim Agung Artidjo Alkostar belum pensiun dan ditunjuk sebagai ketua majelis yang menangani perkara ini, dengan segala pengaruhnya pasti akan memutus dan berpihak pada rasa keadilan dalam masyarakat dan kemanfaatan bagi kehidupan demokrasi yang bersih," kata Fickar.
Jika saja MA tidak membatalkan PKPU, maka hal itu akan memperkuat PKPU yang tidak memberikan kesempatan pada pihak-pihak perusak kepercayaan publik pada demokrasi.
Baca juga: MA: Seharusnya Larangan Eks Koruptor Diatur dalam Undang-Undang
Namun demikian, Fickar mengatakan, bagaimanapun putusan MA telah keluar. Mau tidak mau, putusan tersebut harus dijalankan oleh penyelenggara pemilu.
Ke depannya, keputusan berada di tangan masyarakat untuk memilih sosok wakil rakyatnya.
"Nasi sudah jadi bubur, bola kini ada di tangan masyarakat pemilih," ujar Fickar.
"Berapa persentase pemihakan pada caleg-caleg eks koruptor nanti pada pengumuman hasil pemilu legislatif, akan menggambarkan dengan jelas wajah dan pragmatisme masyarakat Indonesia di zaman milineal," imbuhnya.
Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg bertentangan dengan UU Pemilu No 7 tahun 2017.
Baca juga: KPU Minta Parpol Tetap Coret Bacaleg Eks Koruptor meskipun Ada Putusan MA
Putusan tersebut berakibat pada berubahnya status Tidak Memenuhi Syarat (TMS) bakal caleg eks koruptor menjadi Memenuhi Syarat (MS). Artinya, mantan napi korupsi diperbolehkan untuk maju sebagai caleg.
Bawaslu sebelumnya meloloskan para mantan koruptor sebagai bakal caleg 2019.
Pada masa pendaftaran bacaleg, mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU.
Para mantan koruptor tersebut lantas mengajukan sengketa pendaftaran ke Bawaslu dan Panwaslu setempat. Hasil sengketa menyatakan seluruhnya memenuhi syarat (MS).
Bawaslu mengacu pada Undang-Undang Pemilu nomor 7 tahun 2017 yang tidak melarang mantan koruptor untuk mendaftar sebagai caleg.
Sementara KPU, dalam bekerja berpegang pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 yang memuat larangan mantan koruptor menjadi calon wakil rakyat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.