KOMPAS.com - Hari ini 110 tahun lalu, tepatnya pada 14 September 1908, sebuah perusahaan penerbitan dan percetakan bernama "Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur" berdiri.
Penerbit ini dalam bahasa Indonesia memiliki makna "Komisi Bacaan Rakyat" (KBR). Dalam perkembangannya, perusahaan ini bertranformasi menjadi "Balai Pustaka" yang sampai saat ini sudah banyak dikenal masyarakat.
Pada abad ke-19, koran terbitan bumiputra mulai banyak beredar di masyarakat. Kritikan dan hujatan kepada penjajah merupakan sebagian besar isi dari kotan-koran yang berkembang itu.
Masyarakat mulai menunjukan ketidakpuasan terhadap rezim Hindia Belanda dan memperlihatkan ketidaksukaannya. Hal ini ditambah dengan kebijakan Politik Etis yang sudah dikatakan oleh Ratu Wilhelmina sebagai "Politik Balas Budi".
Akibatnya, semua itu menjadi legitimasi kalangan bumiputra untuk memprotes pemerintah Hindia Belanda melalui tulisan. Koran yang muncul menggunakan Bahasa Melayu, berisi perlawanan dan "unek-unek" terhadap penjajahan waktu itu.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Kesultanan Yogyakarta Masuk Wilayah NKRI
Muncul sebuah keresahan dari Pemerintah Hindia Belanda. Mereka mulai menyadari apa yang telah dilakukannya kepada kalangan bumiputra.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian mencari solusi lain untuk membungkam dan mengontrol banyaknya tulisan yang mengkritik Pemerintah Belanda. Salah satu caranya adalah dengan mendirikan KBR.
Selain itu, ada informasi lain bahwa KBR menyalurkan hasil sastra Eropa dengan tujuan agar rakyat Indonesia tak tahu akan informasi politik yang berkembang.
Namun, tak semua usaha yang dilakukan oleh KBR ini negatif. Pasalnya mereka juga mendirikan perpustakaan di tiap-tiap sekolah ketika masa itu.
Perpustakaan itu menyediakan jasa peminjaman dengan cara yang mudah dan adanya taman bacaan utuk mendukung perpustakaan itu.
KBR menerbitkan buku-buku yang informatif dan beragam yang menuju ke berbagai segmen pembaca. Penulis yang ingin menyalurkan karyanya, harus disortir dulu oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Melalui cara ini, KBR bisa mulai mengendalikan koran-koran yang berkembang di masyarakat yang berisi kritikan terhadap Pemerintah Hindia Belanda.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Soekarno dan Hatta Dibawa ke Rengasdengklok
Kekuatan dan eksistensi KBR menjadi besar. Berbagai karya penulis juga berhasil dirilis. Selain itu, KBR juga memberikan buku-bukunya terhadap sekolah-sekolah guna menunjang kurikulum pendidikannya.
Puluhan buku dan majalah diterbitkan saat itu dalam bahasa Melayu dan berbagai bahasa daerah, yaitu Jawa, Sunda, Madura, Batak, Aceh, Bugis, dan Makassar, dan ditulis dalam bahasa Melayu, Latin, Jawa, maupun Arab.
Pada 22 September 1917, KBR berubah menjadi Balai Pustaka. Karyanya semakin beragam dengan menghasilkan Novel yang terkenal seperti Siti Noerbaja karya Marah Roesli.