Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nama Setya Novanto di Antara Dua Kasus Korupsi yang Sedang Ditangani KPK

Kompas.com - 13/09/2018, 10:03 WIB
Abba Gabrillin,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, telah dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

Novanto divonis 16 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Novanto, yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar itu, dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).

Ia dinyatakan terbukti menerima suap 7,3 juta dollar Amerika Serikat dan sebuah jam tangan Richard Mille senilai Rp 135.000 dollar AS.

Meski sudah berstatus terpidana, nama Novanto masih disebut-sebut dalam perkara dugaan korupsi yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setidaknya ada dua kasus yang diduga melibatkan Setya Novanto.

Kasus pengadaan di Bakamla

Nama Setya Novanto muncul dalam persidangan terhadap mantan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (12/9/2018).

Baca juga: Aliran Uang Suap Fayakhun dan Pejabat Bakamla Juga Dilaporkan ke Novanto

Berdasarkan keterangan saksi, Novanto diduga mengetahui penerimaan suap sekitar Rp12 miliar oleh Fayakhun yang berasal dari Direktur PT Merial Esa, Fahmi Darmawansyah.

Novanto juga diduga mengetahui adanya aliran uang suap kepada staf Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Ali Fahmi alias Ali Habsyi.

Hal itu terungkap saat pegawai PT Merial Esa Muhammad Adami Okta bersaksi di pengadilan.

Menurut Adami, awalnya Direktur Utama PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah diajak untuk mengerjakan proyek pengadaan di Bakamla oleh Ali Habsyi.

Namun, agar anggaran proyek dapat diberikan pemerintah, Fahmi diminta untuk memberikan fee kepada Ali Habsyi dan anggota Komisi I DPR.

Baca juga: Fayakhun Melawan Keputusan Novanto soal Rotasi Komisi di DPR

Adami mengatakan, Ali Habsyi meminta fee yang harus diberikan sebesar 7 persen dari nilai anggaran yang diperkirakan sebesar Rp1,5 triliun.

Untuk tahap pertama, PT Merial Esa menyerahkan fee sebesar 911.480 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp12 miliar kepada Fayakhun. Sementara, Ali Habsyi diberikan Rp54 miliar.

Menurut Adami, tiba-tiba terjadi perselisihan antara Fayakhun dan Ali Habsyi. Keduanya sama-sama saling klaim sebagai orang yang dapat mengurus anggaran di DPR.

"Waktu itu sudah terjadi saling klaim dan Pak Fayakhun kecewa," kata Adami.

Menurut Adami, saat itu direncanakan pertemuan di sebuah hotel di Senayan, untuk membahas masalah tersebut. Namun, Ali Habsyi tidak datang.

Fayakhun kemudian membawa Fahmi Darmawansyah dan Adami ke kediaman Setya Novanto.

Baca juga: Empat Pimpinan Wilayah Partai Golkar Terima Masing-masing Rp 500 Juta dari Fayakhun

Saat itu, Fahmi menjelaskan kepada Novanto dan Fayakhun alasannya menyerahkan sisa uang fee sebesar 6 persen kepada Ali Habsyi.

Menurut Adami, Fayakhun kecewa karena uang Rp54 miliar sudah diserahkan kepada Ali Habsyi. Fayakhun kemudian meminta Fahmi memberikan klarifikasi kepada Novanto.

Saat bersaksi di pengadilan, Sekretaris DPD Golkar DKI Jakarta Basri Baco mengakui di antara Fayakhun dan Novanto sempat terjadi permasalahan.

Oleh Novanto, Fayakhun sempat dipindahkan dari Komisi I DPR ke Komisi VIII DPR.

Menurut Basri, Novanto juga pernah ingin mencopot Fayakhun dari jabatan sebagai Ketua DPD Golkar DKI Jakarta.

Persoalan itu diduga karena Fayakhun dianggap tidak pandai dalam mengumpulkan fee terkait proyek di Bakamla.

Menurut jaksa, Setya Novanto rencananya akan dihadirkan sebagai saksi.

Kasus PLTU Riau-1

Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih (kanan) meninggalkan gedung KPK seusai diperiksa di Jakarta, Senin (24/7). Eni Saragih diperiksa penyidik KPK untuk mendalami kasus dugaan suap yang ia terima dari Johannes Budisutrisno Kotjo terkait pembangunan PLTU Riau-1. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww/18.Hafidz Mubarak A Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih (kanan) meninggalkan gedung KPK seusai diperiksa di Jakarta, Senin (24/7). Eni Saragih diperiksa penyidik KPK untuk mendalami kasus dugaan suap yang ia terima dari Johannes Budisutrisno Kotjo terkait pembangunan PLTU Riau-1. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww/18.
Tak hanya itu, nama Novanto juga muncul dalam perkara dugaan korupsi pembangunan PLTU Riau-1.

Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih yang merupakan anggota Fraksi Partai Golkar, mengakui, uang yang ia terima terkait proyek pembangunan PLTU di Riau, ada kaitannya dengan Ketua Umum Partai Golkar.

Namun, Eni tidak menyebut nama ketua umum yang memerintahkannya menerima uang.

Menurut Eni, segala seuatu terkait dengan proyek dan uang yang ia terima telah diceritakan kepada penyidik.

Baca juga: Pengacara Eni Sebut Kliennya Diminta Menyembunyikan Peran Setya Novanto

Salah satunya, penerimaan uang Rp2 miliar yang diduga untuk membiayai musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar.

Dalam kasus ini, penyidik KPK telah memeriksa Setya Novanto sebagai saksi.

Bahkan, sempat terjadi polemik setelah Novanto memberikan keterangan dalam proses penyidikan.

Eni Maulani mengaku ditemui Setya Novanto di Rumah Tahanan KPK.

Saat itu, Novanto yang sudah berstatus narapidana dan diminta bersaksi, dititipkan penahanannya di Rutan KPK.

Kepada wartawan, Eni mengatakan bahwa apa yang disampaikan Novanto kepadanya membuat dirinya merasa tidak nyaman.

Baca juga: Menurut Pengacara, Novanto yang Menyarankan agar Partai Golkar Kembalikan Uang

Diduga, Novanto ingin memengaruhi keterangan yang akan disampaikan Eni kepada penyidik.

Pengacara Eni, Fadli Nasution membenarkan bahwa kliennya ditemui Setya Novanto di Rutan KPK.

Dalam pertemuan itu, Novanto meminta agar Eni menyembunyikan perannya dalam kasus korupsi pembangunan PLTU Riau-1.

"Pak SN (Setya Novanto) minta Bu Eni tidak membuat keterangan di BAP tentang peran Pak SN dalam proyek PLTU 1 Riau," ujar Fadli Nasution saat dihubungi, Senin (10/9/2018).

Padahal, menurut Fadli, Setya Novanto adalah pelaku utama dalam perkara itu.

Baca juga: Pengacara Novanto: Uang Rp 2 Miliar untuk Munaslub Golkar Pinjaman dari Kotjo

Novanto disebut berhubungan dengan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.

"Padahal Beliau (Novanto) pelaku utamanya bersama-sama dengan Pak Kotjo," kata Fadli.

Dalam kasus tersebut, Eni diduga menerima suap total sebesar Rp 4,8 miliar yang merupakan komitmen fee 2,5 persen dari nilai kontrak proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt.

Diduga, suap diberikan Kotjo agar proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1 berjalan mulus.

Dalam pengembangan, KPK juga menetapkan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham sebagai tersangka.

Idrus diduga mengetahui dan menyetujui pemberian suap kepada Eni Maulani.

Selain itu, Idrus diduga dijanjikan 1,5 juta dollar Amerika Serikat oleh Johannes Kotjo.

Kompas TV Eni Saragih Ungkap Perintah Setnov Kawal PLTU Riau-1.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

Nasional
Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Nasional
Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com