JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo berpendapat, melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat akan memiliki imbas politik terhadap Presiden Joko Widodo dalam Pilpres 2019.
Hal itu ia ungkapkan saat ditanya apakah isu lemahnya nilai tukar rupiah akan menjadi isu politik bagi kubu pengusung calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Sandiaga Uno.
"Ya, mau tidak mau akan ada imbas politiknya. Tapi saya juga sampaikan teman-teman di partai sebaiknya kita tidak menjadikan rupiah sebagai bola politik karena efeknya bisa ke semua orang. Tapi memang tidak terhindarkan akan ada efek politiknya," ujar Dradjad dalam acara Satu Meja di Kompas TV, Rabu (5/9/2018) malam.
Baca juga: Rupiah Hampir Sentuh Rp 15.000 Per Dollar AS, Ini Komentar Jokowi
Menurut Dradjad, Presiden Jokowi harus segera mengambil langkah-langkah yang tepat untuk merespons persoalan tersebut.
Pasalnya, isu melemahnya Rupiah juga akan berpengaruh pada elektabilitas Presiden Jokowi pada Pilpres 2019.
Ia menilai, jika Presiden Jokowi tidak dapat menahan pelemahan nilai tukar rupiah, maka hal itu akan membuat elektabilitasnya semakin menurun.
"Kalau Pak Jokowi tidak bisa menahan pelemahan rupiah terlalu jauh, ya itu nanti akan memengaruhi elektabilitas beliau. Akan sangat menguntungkan bagi Ferry (Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono) dan saya. Tapi bukan kami yang menciptakan," kata Dradjad.
Baca juga: Rupiah Anjlok, Kalla Minta Masyarakat Tak Impor Ferrari, Parfum Mahal, Tas Hermes
Sementara itu, Presiden Jokowi mengatakan, pemerintah tengah berupaya agar nilai tukar rupiah terhadap dollar AS semakin baik.
Menurut Jokowi, tekanan terhadap nilai tukar uang juga terjadi di negara-negara lain. Hal itu terjadi akibat faktor eksternal, antara lain perang dagang AS dan China.
Baca juga: Ini Jurus BI untuk Mengawal Rupiah
Hingga Rabu kemarin, sejumlah bank sudah menetapkan harga jual dollar AS senilai Rp 15.000. Tekanan ini juga terjadi di sejumlah negara, antara lain Argentina dan Turki.
Sejumlah ekonom mengatakan, kondisi perekonomian saat ini masih lebih baik dibanding krisis 1998.
Ketika itu, daya beli masyarakat sangat rendah sehingga tidak bisa membeli barang-barang karena harganya melonjak tinggi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.