JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengkritik langkah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang meloloskan mantan koruptor sebagai calon legislatif untuk Pemilu 2019.
Donal memandang, langkah itu menikam impian masyarakat untuk mendapatkan pemilihan yang berintegritas demi menghadirkan parlemen yang bersih.
"Bawaslu memutuskan demikian, bagi kami, kok, kami merasa ditikam sebagai gerakan masyarakat sipil, yang seharusnya Bawaslu menjadi perpanjangan tangan dan harapan kami semua untuk membangun integritas pemilu," kata Donal usai menyerahkan surat terbuka dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih ke Bawaslu, Jakarta, Jumat (31/8/2018).
"Sudah menjadi informasi umum terdapat sejumlah putusan di Bawaslu daerah yang memberikan mantan terpidana korupsi kesempatan maju kembali. Kalau kita baca peraturan KPU itu bertentangan," sambungnya.
Baca juga: Bawaslu Loloskan Dua Bakal Caleg Eks Koruptor, Total Ada Lima Orang
Donal juga menegaskan sikap Bawaslu merupakan akrobatik hukum. Jika dibiarkan berlanjut, maka tindakan tersebut bisa menimbulkan efek bola salju di daerah-daerah lainnya.
Koalisi Masyarakat Sipil Pemilu Bersih, kata Donal, mencatat sengketa pencalonan legislatif di Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Pare-Pare, Rembang, dan Bulukumba, secara terang-terangan tidak menjadikan Peraturan KPU tentang Pencalonan sebagai rujukan.
Hal senada juga disampaikan Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW Almas Sjafrina.
Baca juga: KPU Tunda Eksekusi Putusan Bawaslu, Minta MA Segera Uji PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg
Almas menuturkan, saat mantan napi korupsi sudah ditetapkan tak memenuhi syarat oleh KPU namun gugatannya masih dikabulkan Bawaslu, hal itu akan menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan Pemilu 2019.
"Mantan napi korupsi yang (di daerah) lain kemudian akan mencontoh dan menjadikan ini preseden yang membuka peluang untuk mereka untuk tetap maju dalam Pileg 2019," katanya.
Almas menegaskan, sikap Bawaslu juga berlawanan dengan pasal 76 ayat 1 Undang-undang tentang Pemilu.
Dalam ayat itu telah mengatur bahwa dalam hal Peraturan KPU diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).
Ketentuan yang sama juga telah diatur dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Itu jelas bahwa yang dapat mengoreksi peraturan KPU dalam hal PKPU ini diduga bertentangan, pengujiannya di MA. Artinya, koreksi atas peraturan itu bukan di ranah Bawaslu," kata Almas.
Ia mengingatkan Bawaslu harusnya bertugas mengawasi pelaksanaan PKPU tentang Pencalonan itu.
Baca juga: ICW: Bawaslu Arogan Loloskan Mantan Koruptor Jadi Bakal Caleg
Artinya, ketika KPU tak mencoret nama-nama caleg dari mantan koruptor, Bawaslu seharusnya mengoreksi sikap KPU.
"Di situ kan kami melihat ada kekeliruan di Bawaslu daerah. Dan kami yakin Bawaslu pusat memiliki pandangan yang sama dengan kami dan kami mendorong Bawaslu dengan segera melakukan fungsinya untuk melakukan koreksi," ujar dia.
Almas juga menyinggung kondisi parlemen belakangan ini yang mengkhawatirkan. Dengan demikian, ia berharap ada akselerasi seluruh pihak untuk membangun kepastian hukum, pemilu berintegritas dan parlemen yang bersih.
Seperti diberitakan, pada masa pendaftaran bacaleg, lima orang mantan koruptor tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU.
Kelimanya lantas mengajukan sengketa pendaftaran ke Bawaslu dan Panwaslu setempat. Hasil sengketa menyatakan ketiganya memenuhi syarat (MS).
Bawaslu meloloskan mantan napi korupsi sebagai bacaleg lantaran mereka mengklaim berpedoman pada Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, bukannya pada PKPU nomor 20 tahun 2018.
Dalam UU Pemilu, mantan narapidana korupsi tidak dilarang untuk menjadi caleg
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.