Masalahnya, hal ini dilakukan dengan cara mempermainkan psikologi massa, lewat bentuk-bentuk agitasi politik, sehingga rentan berkembang menjadi konflik horizontal.
Padahal, politik mestinya merupakan suatu bentuk moderasi konflik. Sayangnya, dalam konteks persaingan politik hari ini, politik justru mempertajam konflik.
"Dengan buruknya pendidikan politik, sebagian elite justru menempatkan diri sebagai demagog yang menunggangi massa untuk digerakkan sebagai ujung tombak dalam pertarungan politik," kata dia kepada Kompas.com.
Namun, saat sebagian elite tak berupaya meredakan situasi, bahkan cenderung membuat tensi lebih tinggi, rakyat justru memberikan contoh untuk para elitenya.
Hanifan sebagai representasi rakyat, sudah memulainya. Aksi spontannya merangkul Jokowi dan Prabowo secara bersamaan itu menurunkan tensi politik.
Sekaligus, mencambuk para elite politik yang tak peka dengan keinginan rakyat yang tak ingin dipecah-belah karena perbedaan pandangan politik praktis.
Sementara itu, pakar psikologi politik Universitas Indonesia Hamdi Moeloek menuturkan, momen kebersamaan Jokowi dan Prabowo menyadarkan siapa saja, termasuk sebagian elite politik, bahwa kompetisi tak perlu saling menjatuhkan.
Juga tak saling memprovokasi lewat tagar, tak saling menjatuhkan lewat hoaks, hingga mengalkulasi sentimen SARA dengan berlebihan.
"Momen ini seperti membuat tekad baru bagi kita semua untuk menyingkirkan narasi-narasi yang negatif belakangan ini," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.