JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar organisasi sosial Universitas Indonesia (UI) Meuthia Ganie Rochman berpendapat, terdapat beberapa penyebab sulitnya memutus lingkaran setan korupsi.
Dua di antaranya adalah kuatnya pragmatisme masyarakat dalam berpolitik serta kuatnya promosi program populis dari para pemimpin.
Dia mencontohkan, sebagian masyarakat cenderung pragmatis dan tak melihat secara jeli rekam jejak, visi, misi dan program calon pemimpin yang dipilih.
"Mereka itu (masyarakat) ikut-ikutan tidak demokratis oleh keadaan oleh pragmatisme yang luar biasa. Kita menyingkirkan kemungkinan calon baik yang mungkin akan lebih baik mengubah kita," kata Meuthia dalam diskusi bertajuk Memutus Lingkaran Korupsi di gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/8/2018).
Menurut Meuthia, pragmatisme di kalangan masyarakat juga disebabkan oleh sikap pemimpin yang cenderung mempromosikan program-program yang populis.
Situasi itu membuat masyarakat menjadi terlena dan tak bisa berpikir jernih melihat rekam jejak, visi, misi, program kerja calon pemimpin secara jernih.
"Itu (program populis) akan menyembunyikan pemikiran kritis kita (masyarakat) terhadap misalnya, calon pemimpin petahana itu menyembunyikan hal-hal lain, seperti (pengelolaan) alokasi izin tambangnya seperti apa, atau munculnya jaringan korup yang baru di birokrasi pemerintahan daerah," paparnya.
"Rakyat udah enggak peduli lagi karena ada populisme yang mapan. itu yang menurut saya bahaya," sambung Meuthia.
Di sisi lain, Pakar Administrasi Publik UI Vishnu Juwono mengungkapkan, isu korupsi di Indonesia masih menjadi isu elite yang hanya menjadi konsumsi masyarakat kalangan menengah atas di wilayah perkotaan.
Hal inilah yang menjadi salah satu hambatan untuk melawan berbagai kejahatan korupsi di Indonesia.
Baca juga: Perpres tentang Pencegahan Korupsi Diharapkan Buat Perubahan Mendasar
"Belum bisa merambat ke kelompok menengah bawah yang merupakan mayoritas kita. Karena sebuah gerakan akan menjadi efektif apabila involvement dari kelompok menengah bawah itu ada," kata Vishnu.
Ia menceritakan, saat melakukan wawancara penelitian dengan sejumlah kepala daerah, mereka mengungkapkan masyarakat justru yang mendorong mereka melakukan politik uang atau politik transaksional lainnya.
Sebagian masyarakat lebih mementingkan hal-hal yang bersifat pragmatis seperti uang, sembako dan lainnya ketika memilih calon pemimpin.
"Nah akhirnya pada level lokal sendiri lingkaran setannya juga sudah ada. Apalagi pada level nasional," kata dia.
Ia berharap adanya pemberdayaan yang kuat bagi masyarakat sipil dalam memutus lingkaran korupsi. Sebab, Vishnu tak ingin kekuatan modal dan kepentingan politik pribadi calon pemimpin mendikte berbagai agenda kepemimpinan nasional secara sewenang-wenang.