JAKARTA, KOMPAS.com - Bakal calon wakil presiden (cawapres) yang diusung Partai Gerindra, PKS, PAN, dan Partai Demokrat Sandiaga Uno menilai melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) disebabkan banyaknya barang impor yang masuk ke Indonesia.
Hal itu disampaikan Sandi saat ditanyai komentarnya mengenai nilai tukar rupiah yang terus menurun kala berkunjung ke Kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin (13/8/2018) malam.
"Karena sekarang ini banyak sekali kebijakan kita yang mengarahkan pemenuhan kebutuhan itu melalui impor," kata Sandiaga.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Perkasa, Rupiah Justru Nelangsa
Ia berjanji, jika nanti menang Pilpres, akan mengupayakan pemenuhan kebutuhan ekonomi dengan produk dalam negeri. Sehingga, dengan kebijakan tersebut, diharapkan nilai tukar rupiah tidak melemah.
Sandiaga maju sebagai cawapres berpasangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Sandiaga melanjutkan, melemahnya nilai tukar rupiah saat ini mengakibatkan meningkatnya harga bahan pangan yang diimpor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Beberapa di antaranya ialah daging ayam potong dan telur.
"Ini yang harus kita sampaikan kepada masyarakat bahwa keinginan kami, Pak Prabowo dan saya untuk melakukan satu perbaikan kebijakan ekonomi yang lebih berpihak kepada emak-emak, kepada ibu-ibu, yang mengeluh karena harga bahan pokoknya meningkat," lanjut Sandiaga.
Diketahui, per 13 Agustus, nilI tukar rupiah mengalami penurunan hingga Rp 14.600 per dolar AS.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah mewaspadai nilai tukar rupiah yang tengah anjlok tersebut.
Menurut dia, pelemahan rupiah ini berasal dari dua sentimen, yakni global dan domestik.
“Kita tetap perlu hati-hati karena lingkungan yang kita hadapi sangat berbeda sekali dengan tahun 2015,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Senin (13/8/2018).
Baca juga: Sri Mulyani: Pemerintah Waspadai Pelemahan Rupiah
Ia mengatakan, di tahun 2015, dari sisi domestik memang current account deficit (CAD) lebih besar yakni dia atas 4 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Sebagai perbandingan, CAD di kuartal II 2018 lalu tercatat 3 persen dari PDB. Namun bedanya, di tahun 2015, quantitative easing masih diterapkan dan kenaikan suku bunga belum dilakukan.