Pertimbangan politik kepartaian
Pemilu 2019 adalah perspektif sudut pertimbangan politik kepartaian. Hal ini bisa dilihat dari hanya partailah yang berhak mencalonkan calon presiden dan calon wakil presiden RI. Tidak ada ruang bagi calon independen seperti pada pemilihan kepala daerah.
Nalar ideologi dalam menentukan sosok pemimpin Indonesia masa depan akan runtuh oleh kepentingan peningkatan elektabilitas partai politik pengusung. Hal ini disebabkan karena Pilpres kali ini berbarengan dengan Pemilihan Legislatif.
Efek insentif elektoral dari calon presiden yang diusung akan sangat berpengaruh kuat terhadap pilihan partai politik. Sehingga, alotnya menentukan cawapres lebih didasarkan pada kepentingan partai politik, bukan kepentingan lain di luar itu.
Begitu juga Partai Golkar saat memberikan dukungan kepada Presiden Joko Widodo. Hal ini didasarkan pada kondisi objektif kepentingan Partai Golkar itu sendiri.
Sehingga, dukungan tersebut harus memiliki implikasi pada peningkatan elektoral partai yang paling ideal. Golkar merupakan pemilik raihan suara terbesar kedua setelah PDIP.
Posisi wakil presiden sebaiknya merupakan representasi dari Partai Golkar. Apabila itu tidak bisa diwujudkan, maka harus dicari formula agar partai golkar memiliki insentif elektoral.
Politik logis argumentatif adalah tema dari sebuah demokrasi modern. Akan tetapi, argumentasi ideologis atas nama Pancasila maupun agama tidak boleh digunakan untuk menyulut emosi publik.
Baca juga: Dunia Butuh Indonesia dengan Warisan Pluralisme
Karena, nalar dan hati mereka akan terbakar, kemudian mereka larut dalam spirit peperangan atas nama agama dan ideologi. Saat itu terjadi, maka elit politik dianggap gagal dalam memberikan pendidikan politik kepada para pengikutnya.
Hal tersebut bertentangan dengan semangat kepartaian bahkan dari sisi pengelolaan anggaran kepartaian yang bersumber dari APBN dan APBD.
Penggunaannya dianggap tidak memiliki manfaat karena 75 persen dari bantuan partai politik harus digunakan untuk pendidikan politik berdasarkan amanat undang-undang.
Pertanyaan mendasar dalam pikiran dan hati kita adalah apakah eksploitasi argumentasi ideologis itu akan menjadi nalar abadi dalam perjalanan politik kepartaian? Atau malah sebaliknya, esok lusa terjadi kompromi politik dengan argumentasi demi kemaslahatan dan keutuhan bangsa dan negara.
Apabila itu terjadi, maka bersiaplah, mereka yang tersulut dan terbakar dengan emosi agama dan ideologi tersebut untuk mengalami kekecewaan. Hal ini dapat berupa terbentuknya oposisi non-kepartaian yang absurd inkonstitusional yang bersifat separatis ideologis yang berbahaya bagi stabilitas keamanan.
Selain itu, kepercayaan terhadap elit politik akan hilang karena dianggap gagal mengelola politik aliran yang menjadi tumpuan terakhir harapan mereka.
Marilah jujur pada masyarakat bahwa perbedaan pandangan politik itu hanya berlaku pada pemilihan presiden dan wakil presiden. Semuanya dibuat seolah mengarah pada pertarungan yang sangat ideologis.
Tetapi, kerjasama antar-partai politik dalam mengelola anggaran pada hampir seluruh tingkatan dari pusat hingga daerah, pertarungan ideologi itu nyaris tak terdengar. Seluruhnya senyap dalam bisikan saling mengerti dan saling berbagi.
Agama dan Pancasila seolah hadir dan begitu gempita untuk diperjuangkan dalam mimbar politik terbuka. Tetapi, seolah ditiadakan dalam bisikan penyusunan anggaran yang tertutup.
Salah satu spirit agama dan Pancasila adalah kejujuran. Marilah jujur mengatakan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden adalah pertarungan kepentingan politik, bukan pertarungan ideologi. Akhiri polarisasi dua kutub ini, jangan sampai dibawa pada Pilpres 2019 nanti.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.