JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut agar hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mencabut hak politik terdakwa Bupati nonaktif Hulu Sungai Tengah Abdul Latif.
Pencabutan itu untuk melindungi publik memilih mantan koruptor sebagai pejabat publik.
"Menuntut hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok," ujar jaksa Kresno Anto Wibowo saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (6/8/2018).
Baca juga: Bupati Hulu Sungai Tengah Dituntut 8 Tahun Penjara
Menurut jaksa, saat melakukan tindak pidana, Abdul Latif masih menjabat sebagai bupati. Adapun, kepala daerah merupakan jabatan publik yang dipilih langsung dalam pilkada.
Menurut jaksa, secara tidak langsung warga menaruh harapan Abdul Latif dapat memajukan daerah dan memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun, pada kenyataannya, Abdul Latif malah menerima suap dari para kontraktor.
"Untuk melindungi masyarakat agar tidak memilh pejabat yang koruptif, perlu ada pencabutan hak politik, hak dipilih dalam jabatan publik setelah selesai menjalani pidana pokok," kata jaksa M Takdir Suhan.
Baca juga: Dua Perantara Suap Bupati Hulu Sungai Tengah Dituntut 6 Tahun Penjara
Abdul Latif dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan.
Menurut jaksa, Abdul Latif terbukti menerima suap Rp 3,6 miliar. Suap tersebut diberikan oleh Direktur PT Menara Agung Pusaka Donny Witono yang merupakan kontraktor di Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
Menurut jaksa, uang tersebut diberikan karena Abdul Latif telah mengupayakan PT Menara Agung Pusaka memenangkan lelang dan mendapatkan proyek pekerjaan pembangunan ruang perawatan kelas I, II, VIP dan super VIP di RSUD H Damanhuri Barabai tahun anggaran 2017.