JAKARTA, KOMPAS.com - "Nama saya Bedjo Untung, Saya korban langsung 65 (Tragedi 1965). Pernah merasakan ditahan, disiksa, ditangkap, dan pernah kerja paksa tanpa proses hukum".
Begitulah penggalan orasi Bedjo di depan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, tempat Menko Polhukam Wiranto bekerja, Kamis (2/8/2018).
Orasi itu ia sampaikan dalam rangka menolak rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) atau Tim Gabungan Terpadu penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Baca juga: Try Sutrisno: TNI Terlibat Peristiwa 1965, tapi...
"Kepada Bapak Wiranto, akhir-akhir ini mendengungkan DKN. Dia bilang untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat bisa diselesaikan dengan musyawarah. Saya tidak habis pikir, ini ada orang-orang dibunuh, jumlahnya tidak main-main, bukan hanya satu sampai tiga orang," kata Bedjo saat berorasi, Kamis (2/8/2018).
Bahkan, Bedjo juga menceritakan ada rekan-rekannya sesama korban Tragedi 1965 yang dibuang ke Pulau Buru dan Nusakambangan pada waktu itu karena dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ia menegaskan, negara harus bertanggung jawab terhadap para korban dan keluarganya atas berbagai kasus kejahatan HAM masa lalu yang belum menemukan titik terang.
Baca juga: Lahan Kuburan Massal Korban 1965 Ada yang Telah Jadi Perumahan atau Hotel
"Saya tidak menyalahkan orang satu per satu. Tidak," kata dia.
Saat tragedi itu meletus, Bedjo yang pada waktu itu berusia masih berusia 17 tahun sedang berada di suatu daerah. Ia menyaksikan bagaimana peristiwa pembantaian massal terduga PKI ini dilakukan secara masif dan sistematis.
"Bagaimana mungkin seluruh Indonesia menyebar gitu dan yang diduga PKI ditangkapin semua. Karena enggak mau ditahan, saya menyelamatkan diri, lari ke Jakarta karena lebih aman," tuturnya.
Baca juga: Komnas HAM Sebut Penuntasan Kasus HAM 1965-1966 Terkendala Wiranto
Pada akhirnya ia harus menerima kenyataan pahit. 5 tahun dalam pelarian, ia akhirnya ditangkap dan ditahan tanpa proses hukum di penjara Salemba pada tahun 1970.
Di sanalah ia mendapatkan siksaan dari aparat karena dianggap berafiliasi dengan PKI. Kemudian ia sempat dipindahkan untuk menjalani kerja paksa selama beberapa tahun di sebuah kamp kerja paksa di Tangerang.
"Saya di penjara di Salemba, kemudian dipindahkan ke kamp konsentrasi kerja paksa Tangerang, semuanya (total hukuman yang dijalani) selama 9 tahun," kata Bedjo.
Berharap negara menyesal
Bedjo tak menuntut individu-individu yang terlibat dalam Tragedi 1965 untuk bertanggung jawab karena ia menyadari bahwa peristiwa itu dilakukan secara masif dan sistematis melibatkan seluruh elemen.
Bagi Bedjo, Negara harus mengungkapkan penyesalannya di hadapan publik, khususnya korban atau pihak keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Baca juga: Komnas HAM Tak Akan Tindak Lanjuti Dokumen AS soal Tragedi 1965