KETERBUKAAN informasi mengenai transparansi pelaporan dana kampanye yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Jawa Barat pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2018 beberapa waktu lalu patut diapresiasi.
Dalam laporannya, Bawaslu Jabar membeberkan beberapa temuan dana siluman dalam laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) pasangan calon.
Ketidakjelasan sumber sumbangan dana kampanye pasangan calon, baik perorangan maupun perusahaan, selalu ditemukan dari pilkada ke pilkada. Namun, hanya sebagian pengawas pemilu yang mampu mempublikasikan data tersebut.
Ketidakjelasan tersebut meliputi identitas pemberi dana, alamat penyumbang, nomor kontak penyumbang, nomor pokok wajib pajak, serta ketidakjelasan sumber pemasukan penyumbang (Abdullah, 2018).
Padahal, dalam Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2015 Pasal 76 dijelaskan bahwa partai politik dan/atau gabungan partai politik yang mengusulkan calon dan calon perseorangan dilarang menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang berasal dari penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya.
Lebih lanjut, dalam ayat (3) dan (4) dikatakan, jika terbukti melanggar ketentuan, maka akan ada sanksi berupa pembatalan calon yang diusulkan.
Kasus diskualifikasi calon bupati Sinjai, Sabirin Yahya-Andi Mahyoto, oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sinjai karena terlambat memasukkan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) adalah langkah nyata keberanian penyelenggara pemilu. Keputusan ini sudah sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang dana kampanye calon kepala daerah.
Terhadap pasangan calon yang memberikan laporan dana kampanye tidak jelas, timbul sebuah pertanyaan besar dari mana sumber dana kampanye itu berasal?
Mungkinkah dana tersebut bersumber dari dana pemerintah atau pemerintah daerah? Karena, jika penyumbang hanya menyertakan tanpa nama atau "no name" atau "hamba Allah" yang tidak melampirkan identitas sesuai dengan aturan perundang–undangan, bagaimana mungkin penyelenggara pemilu menelurusi kemampuan finansial penyumbang?
Itu baru sampai pada analisis penerimaan sumbangan, belum lagi penelurusan pengeluaran dana kampanye. Apakah pengeluaran yang dilaporkan sesuai dengan kondisi real di lapangan? Ataukah memang pelaporan hanya disesuaikan dengan PKPU dana kampanye saja? Yang jelas, ini akan menjadi catatan penyelenggara pemilu.
Beberapa kondisi tersebut tak menutup kemungkinan akan terjadi di politik electoral 2019. Namun sejauh ini, isu pengaturan dana kampanye untuk Pemilu 2019 belum menjadi sorotan. Termasuk juga media, masih sangat minim pemberitaan mengenai dana kampanye.
Padahal, transaksi kebijakan dan pelangengan demokrasi-oligarki dimulai dari tak tersorotnya laporan sumbangan dana kampanye kepada para peserta Pemilu (Salabi, 2018).
Perlu keberanian penyelenggara pemilu
Beberapa kasus operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap calon yang sudah ditetapkan oleh KPU mestinya menjadi titik fokus perhatian penyelenggara pemilu.
Realitas yang bisa kita lihat sekarang, keberanian penyelenggara pemilu untuk mengungkap laporan dana kampanye kepada media masih bisa terhitung jari.