JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Kepala Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 atas permohonan uji materi Pasal 182 huruf l Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Melalui putusan itu, pengurus partai politik tak diperbolehkan mendaftarkan diri sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah RI. Apabila tetap ingin mendaftarkan diri, maka yang bersangkutan harus mundur terlebih dahulu dari partai politik.
"Ini alasannya konstitusionalitas. Kalau kita lihat di UUD Pasal 22 d dan e yang mengatur tentang pemilihan, dikatakan DPD memang dari calon perseorangan, tidak dicalonkan dari partai politik," ujar Bivitri saat dijumpai di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (28/7/2018).
"Maka pentingnya di situ. Putusan MK mengembalikan DPD ke bentuknya semula," kata dia.
Baca juga: Putusan MK soal Pengurus Parpol Dinilai Akan Kembalikan Marwah DPD
Sejak DPD RI didirikan pasca-reformasi, Bivitri mengatakan, sudah bukan rahasia umum lagi bahwa partai politik berupaya merangsek masuk ke dalam tubuhnya dengan berbagai cara.
"Ternyata kan semakin ke sini semakin dikaburkan. Parpol masuk dan bahkan tidak hanya anggota, tapi pengurus, bahkan pengurus itu merekrut anggota DPD itu menjadi anggota partainya," ucap Bivitri.
"Kita tahu semua, ini bukan rahasia lagi kalau DPD dikuasai partai. Bahkan, secara statistik, lebih dari setengah anggota DPD itu adalah anggota partai politik, terutama Hanura," kata dia.
Kondisi tersebut dinilai semakin menjauhi DPD RI dari semangat awalnya, yakni sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.
Baca juga: 5 Poin Penting dari Putusan MK Larang Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD
Bivitri pun berharap Komisi Pemilihan Umum tegas melaksanakan putusan MK tersebut. Demikian pula para calon anggota DPD RI yang sudah mendaftarkan diri ke KPU.
Sebelumnya, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi ( MK) Fajar Laksono Soeroso menyatakan, putusan MK yang melarang pengurus partai mendaftar sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah berdasarkan koridor hukum dan konstitusi.
Fajar menegaskan bahwa putusan tersebut tidak ada muatan politis sama sekali.
"Kalau bermuatan politis dalam arti MK punya kepentingan politik praktis, tentu tidak. Tak ada alasan untuk itu. Di mana letak muatan politis itu? Tapi bahwa putusan MK ini akan berdampak politis, tentu iya, apalagi di tahun politik seperti sekarang," ujar Fajar saat dihubungi, Selasa (24/7/2018) malam.
Fajar mengatakan, justru melalui putusan ini, MK mengembalikan hakikat keberadaan DPD RI sebagai representasi daerah atau teritori sebagaimana desain ketatanegaraan yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Gugatan tersebut diajukan warga negara bernama Muhammad Hafidz pada April 2018, dan diputus pada 23 Juli 2018.