JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai argumen kuasa hukum Wakil Presiden Jusuf Kalla sangat lemah. Argumen itu terkait dengan keputusan Kalla menjadi pihak terkait uji materi Pasal 169 huruf N Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Kuasa Hukum Pak JK sedang membangun argumen pertama, Wapres itu pembantu Presiden seperti menteri. Pemegang kekuasaan pasal 7 UUD itu hanya Presiden," ujarnya dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (21/7/2018).
"Menurut saya ini adalah tafsiran, aduh saya enggak enak ngomongnya, tapi mengada-ngada," sambung perempuan pendiri dan dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera itu.
Baca juga: Ketua KPU Nilai Jusuf Kalla Sudah Jabat Dua Periode, tetapi...
Berdasarkan ketatanegaraan, kata dia, presiden dan wapres berada dalam satu lembaga yakni lembaga Kepresidenan. Oleh karena itu, kedua jabatan tersebut merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.
Namun, kubu Kalla dinilai mencoba untuk menyamakan jabatan Wapres dengan menteri. Padahal, kata Bivitri, walaupun sama-sama pembantu Presiden, namun dua hal berbeda secara konteks.
Kedua, kubu Kalla juga dinilai sedang membangun argumen bahwa Wapres bukanlah jabatan yang kurang signifikan. Ia mengingatkan, seorang Mohammad Hatta sempat mengeluarkan meklumat pada November 1945.
Baca juga: Jusuf Kalla Ungkap Alasan Bersedia Dicalonkan Lagi Jadi Cawapres
Maklumat itu mendorong pembentukan partai politik sebagai bagian dari demokrasi. Bahkan, kemudian maklumat itu dinilai tonggak awal demokrasi Indonesia.
"Kalau orang hukum tata negara belajar sejarah ketatanegaraan. Sejarah ketatanegaraan kita bilang tidak betul, itu (peran wapres itu) naik turun. Jadi argumen itu dengan mudah bisa dipatahkan," kata dia.
Ketiga, kubu Kalla juga dinilai coba membangun argumen sejarah. Namun menurut Bivitri, berdasarkan intensi konstitusional pasca reformasi, risalah amandemen sudah jelas menjawabnya.
"Jelas sekali instensinya untuk membatasi batasan presiden dan wakil presiden karena reformasi. Jadi semangat membatasi itu sangat kuat," ucap Bivitri.
"Pada November 1998 sudah keluar ketetapan MPR Nomor 13 tahun 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden dan itu hanya 1 pasal yang persis dengan pasal 7 UUD," sambung dia.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.