JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menilai, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) menyebabkan hegemoni politik serta "pembunuhan" parpol.
Terkait hegemoni politik, ia menjelaskan hubungannya dengan ambang batas pencalonan presiden.
Peraturan mengenai presidential threshold tertuang dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Baca juga: Gatot Nurmantyo Mengaku Ditawari Posisi Capres hingga Cawapres
Disebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dari hasil pileg sebelumnya untuk bisa mengusung pasangan capres-cawapres pada 2019.
Menurut Gatot, peraturan tersebut tidak pernah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Partai pemenang Pileg 2014 yang menikmati keuntungannya saat ini.
"Ada pemenang Pileg yang memperoleh 19,9 persen, sehingga dia tinggal menambah partai manapun juga, satu saja, dan mendapat lebih dari 20 persen. Inilah yang saya katakan hegemoni," jelas Gatot di JCC, Senayan, Jakarta, Selasa (24/7/2018).
Baca juga: Secara Logika Politik, Gatot Nurmantyo Merasa Tak Ada Peluang Maju Pilpres 2019
Sementara itu, ia berpendapat bahwa parliamentary threshold adalah penyebab dari "pembunuhan" parpol.
"Kemudian yang membunuh partai itu, apabila peserta pemilu yang perolehannya dibawah 4 persen dia tidak punya kursi di DPR dan kursinya diberikan pada partai pemenang," jelasnya.
Perlu diketahui bahwa Pasal 414 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu menentukan ambang batas parlemen sebesar 4 persen dari total suara sah nasional. Parpol yang tidak mencapai target tersebut tentu tidak akan mendapatkan jatah kursi di parlemen.
Baca juga: Gatot Nurmantyo Masih Tutup Rapat soal Peluangnya Ikut Pilpres 2019
Gatot menambahkan, "pembunuhan" parpol tersebut juga disebabkan oleh coattail effect. Sebuah kondisi, bagaimana sosok yang diusung di Pilpres bisa mendongkrak perolehan suara pada pemilihan anggota legislatif.
Ia mengambil contoh PDI-P yang memanfaatkan kondisi tersebut. Dalam pandangannya, PDI-P memanfaatkan citra Presiden Jokowi yang sudah melekat dengan partai.
"Dengan demikian, kalau saya sebagai Ketua Badan Strategis Pemenangan PDI-P, nanti wakil Jokowi harus minimal 2, satu dari PDI-P sendiri, kalau enggak dari luar partai supaya aura dari Pak Jokowi itu masuknya ke PDI-P," terangnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.