PROSES pengajuan daftar calon anggota DPR serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota dari partai politik peserta Pemilu 2019 ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 4–17 Juli 2018 telah usai dilaksanakan.
Hanya beberapa partai politik yang melakukan pendaftaran sebelum 17 Juli 2018. Sisanya, partai politik mendaftarkan bakal calon anggota legislatif (caleg) menjelang batas waktu yang telah ditetapkan, yaitu pukul 24.00.
Dari pemilu ke pemilu, hal ini seperti ini selalu terjadi. Tak ada yang berubah. Keterlambatan datangnya nomor urut juga menjadi salah satu faktor hambatan di internal partai politik itu sendiri.
Mekanisme rekrutmen para calon legislatif di masing-masing partai politik juga tampaknya kurang disiapkan dengan matang.
Tak dapat dimungkiri, sejauh ini banyak syarat yang tak tercantum dalam aturan perundang-undangan, tapi nyata adanya. Seperti pada penentuan nomor urut dan pembagian daerah pemilihan.
Bukan rahasia lagi, ketidakterbukaan sistem informasi mengenai penomoran dan zonasi dapil ini, menjadi tanda tanya besar, mengapa ketertutupan ini harus terjadi?
Kadangkala kita berpikir mungkinkah proses rekrutmen tersebut ada transaksi politik yang mengakibatkan maraknya fenomena mahar dalam penentuan caleg.
Tampaknya, hanya segelintir partai politik yang melakukan rekrutmen bakal caleg secara terbuka. Berapa banyak para calon legislatif yang melakukan penguatan kapasitas dalam berpolitik untuk mempersiapkan diri menjadi wakil rakyat? Sepertinya bisa dihitung dengan jari.
Padahal, idealnya menjadi wakil rakyat itu tidak cukup dengan kelengkapan persyaratan administratif, tetapi juga harus diimbangi dengan kemampuan intelektualitas dan integritas memadai.
Tak sedikit pula partai politik yang pada akhirnya mengambil jalan pintas dalam proses rekrutmen caleg. Di beberapa partai politik, kita temukan ada nama-nama caleg dari kalangan artis, tokoh agama, penyanyi, sampai komedian. Bahkan, ada yang pindah pindah dari satu parpol ke parpol lain.
Kalau memang kompetensi dan integritasnya mumpuni, barangkali tak menjadi persoalan. Namun, jika fakta yang terjadi hanya mengandalkan popularitas belaka, sungguh bukan kesejahteraan rakyat yang diharapkan, melainkan kerusakan moralitas bangsa.
Sosialisasi pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai ikhtiar untuk mewujudkan para caleg yang bersih dari masalah hukum itu sudah tepat. Tak hanya sosialisasi, Bawaslu juga melaksanakan penandatanganan fakta integritas terhadap seluruh partai politik.
Poin penting yang diajukan Bawaslu dalam pakta integritas tersebut di antaranya parpol tidak melakukan politik uang, tidak meminta imbalan (mahar) pencalonan, tidak melakukan kampanye hitam dan menyebarkan kebencian berdasarkan SARA, tidak melakukan suap terhadap penyelenggara pemilu.
Di samping itu, parpol juga tidak mencalonkan anggota DPR, DPRD, atau presiden dan wakil presiden yang melakukan atau terlibat tindak pidana korupsi, obat-obatan terlarang, terorisme, dan kejahatan seksual (Afif Affifudin, 2018).
Penguatan pengawas pemilu
Alih-alih para caleg meningkatkan kapasitas diri untuk menjadi wakil rakyat, yang terjadi ternyata persoalan administrasi syarat calon saja banyak yang belum lengkap.
Parpol yang mengajukan bacaleg menjelang batas akhir pendaftaran, ternyata kelengkapan berkasnya ditemukan terdapat kekurangan.