TEMUAN riset Cherian George (2017) mengungkapkan, ada dua jenis pernyataan kebencian yang bergentayangan di ruang publik, yakni ujaran kebencian (hate speech) dan pelintiran kebencian (hate spin).
Keduanya sama-sama berkaitan dengan kebencian. Jika ujaran kebencian menyerang pihak lain secara langsung, pelintiran kebencian menggabungkan ujaran kebencian dengan kemarahan akibat ketersinggungan.
Pada ujaran kebencian, dengan atau tanpa hoaks, si pengujar akan dengan terang-terangan mengajak untuk menghakimi atau merusak pihak yang dibenci. Contoh paling lantang adalah ajakan pemuka agama untuk menjelek-jelekkan atau menista mereka yang menganut aliran yang dianggap sesat.
Bisa jadi ada berita bohong, bisa juga tidak, pada ajakan tersebut. Tetapi ajakan tersebut berbentuk ajakan langsung untuk menghasut atas nama kebencian kepada pihak lain.
Sementara itu, pelintiran kebencian tidak secara langsung mengajak massa menyerang pihak lain.
Menurut Cherian George, pelintiran kebencian memerlukan dua sisi, yakni sisi hasutan dan sisi keterhasutan. Agar bisa menghasut, pemelintir perlu isu.
Karena namanya hasutan, isu yang diangkat mesti perkara yang tidak jelas atau bila perlu bohong. Dalam konteks ini, berita palsu adalah barang paling pas untuk menghasut.
Ketika hasutan melalui hoaks sudah sampai ke masyarakat, pada gilirannya akan menimbulkan kemarahan, alias masyarakat berkemungkinan akan terhasut.
Semakin banyak orang terhasut, semakin berhasil mereka sebagai pemelintir kebencian. Dengan demikian, semakin besar pula peluang mereka untuk memobilisasi gerakan massa yang lebih luas.
Di sisi lain, meningkatnya intensitas kebencian di ruang publik kita telah mewariskan spirit yang kurang menggembirakan kepada generasi muda.
Bagaimana tidak, kabar penuh guncangan hadir dari riset Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dirilis pertengahan Januari 2018, hasil riset tersebut mengabarkan bahwa generasi milenial banyak yang tertarik pada literatur keislaman dengan corak radikal.
Ada lima corak literatur keislaman yang umumnya diakses generasi milenial, yaitu literatur bercorak jihadi, tahriri, salafi, tarbawi, dan islamisme popular.
Kelima corak tersebut berpola piramida terbalik. Artinya, dari atas (puncak) ke bawah semakin banyak peminatnya.
Dalam hal ini, literatur jihadi paling sedikit peminatnya, sedangkan islamisme popular paling banyak diminati.
Literatur jihadi menggambarkan dunia saat ini berada dalam situasi perang sehingga menekankan keharusan umat Islam mengobarkan jihad.
Literatur tahriri menekankan gagasan revitalisasi khilafah sebagai jalan mengembalikan kejayaan Islam.
Literatur salafi menawarkan landasan klaim identitas dan otentisitas yang merujuk langsung terhadap sumber-sumber utama Islam.
Adapun literatur tarbawi menyebarkan misi ideologi Ikhwanul Muslimin yang berhasrat mengubah tatanan politik saat ini.
Terakhir, literatur islamisme popular mengusung tema-tema keseharian dan menawarkan berbagai tuntunan praktis dalam kehidupan yang dikemas dengan renyah, trendy, dengan corak fiksi, popular, dan komik.