Ada sahabat yang mengkritik saya mencla-mencle. Saya terangkan dan tegaskan, tidaklah demikian. Tentu saya tidak bisa mencegah orang berpandangan demikian. Tetapi alasan pergeseran itu simple dan sederhana.
Pasal syarat ambang batas presiden sebelumnya berbeda konsepsinya dengan norma dalam Pasal 222 UU Pemilu saat ini. Norma sekarang diikat dengan sistem pemilu serentak antara pileg dan pilpres, yang tidak memungkinkan jika syarat ambang batas dipertahankan.
Dengan norma yang berbeda demikian, adalah pilihan rasional untuk berubah menjadi menolak presidential threshold, karena sistemnya sudah berbeda. Justru menjadi aneh, kalau dalam sistem pemilu yang berubah serentak saya tetap bertahan mempertahankan syarat ambang batas presiden.
Sikap bertahan demikian sekilas terkesan konsisten, tetapi kalau dianalisa lebih jauh justru irasional. Mana mungkin syarat ambang batas presiden didasarkan pada hasil pemilu DPR lima tahun sebelumnya, yang sangat boleh jadi sudah tidak akurat dan kadaluwarsa.
Alasan berbeda
Di dalam permohonan yang diajukan, ada sepuluh alasan berbeda untuk mendalilkan bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang presidential threshold bertentangan dengan UUD 1945.
Namun, kesepuluh argumen itu dapat dikelompokkan menjadi enam, yaitu:
Pertama, syarat ambang batas presiden itu bertentangan dengan sistem pemilihan dua putaran atau two round/run off system, yang pada dasarnya membuka luas hadirnya banyak calon presiden. Sistem pilpres dua putaran itu secara jelas diatur dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4) UUD 1945.
Faktanya, sistem pilpres kita memang sangat lengkap mengatur detail, apalagi jika dibandingkan pemilu legislatif ataupun pemilihan kepala daerah yang sangat umum.
Dalam sistem pilpres, kemungkinan banyak calon sudah diantisipasi dengan baik, sehingga syarat presidential threshold yang mendorong ke arah hadirnya sedikit calon, bahkan bisa calon tunggal, nyata-nyata bertentangan dengan sistem pilpres dua putaran tersebut.
Kedua, penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR lima tahun sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karenanya bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 terkait pemilu.
Pasal dalam konstitusi itu bukan saja menegaskan kontinuitas pemilu setiap lima tahunan, tetapi lebih mendasar dari itu adalah jaminan konstitusionalitas bagi rakyat untuk memperbarui mandat penyelenggara negara baik di presiden maupun parlemen.
Mendasarkan syarat capres dari hasil pemilu DPR lima tahun sebelumnya, yang amat mungkin sudah kadaluwarsa secara politik, adalah langkah yang menghilangkan prinsip elementer pemilu agar rakyat pemilih bisa melakukan pembaruan mandat tersebut.
Saya tidak menemukan satu negara pun di dunia yang menerapkan syarat presidential threshold berdasarkan hasil pemilu parlemen lima tahun sebelumnya.
Ketiga, Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur “syarat” ambang batas untuk parpol dapat mengusulkan pasangan capres bertentangan dengan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, yang hanya mendelegasikan pengaturan “tata cara”.