Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara

Advokat Utama INTEGRITY Law Firm; Guru Besar Hukum Tata Negara; Associate Director CILIS, Melbourne University Law School

Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden

Kompas.com - 23/07/2018, 09:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ada sahabat yang mengkritik saya mencla-mencle. Saya terangkan dan tegaskan, tidaklah demikian. Tentu saya tidak bisa mencegah orang berpandangan demikian. Tetapi alasan pergeseran itu simple dan sederhana.

Pasal syarat ambang batas presiden sebelumnya berbeda konsepsinya dengan norma dalam Pasal 222 UU Pemilu saat ini. Norma sekarang diikat dengan sistem pemilu serentak antara pileg dan pilpres, yang tidak memungkinkan jika syarat ambang batas dipertahankan.

Dengan norma yang berbeda demikian, adalah pilihan rasional untuk berubah menjadi menolak presidential threshold, karena sistemnya sudah berbeda. Justru menjadi aneh, kalau dalam sistem pemilu yang berubah serentak saya tetap bertahan mempertahankan syarat ambang batas presiden.

Sikap bertahan demikian sekilas terkesan konsisten, tetapi kalau dianalisa lebih jauh justru irasional. Mana mungkin syarat ambang batas presiden didasarkan pada hasil pemilu DPR lima tahun sebelumnya, yang sangat boleh jadi sudah tidak akurat dan kadaluwarsa.

Alasan berbeda

Di dalam permohonan yang diajukan, ada sepuluh alasan berbeda untuk mendalilkan bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang presidential threshold bertentangan dengan UUD 1945.

Namun, kesepuluh argumen itu dapat dikelompokkan menjadi enam, yaitu:

Pertama, syarat ambang batas presiden itu bertentangan dengan sistem pemilihan dua putaran atau two round/run off system, yang pada dasarnya membuka luas hadirnya banyak calon presiden. Sistem pilpres dua putaran itu secara jelas diatur dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4) UUD 1945.

Faktanya, sistem pilpres kita memang sangat lengkap mengatur detail, apalagi jika dibandingkan pemilu legislatif ataupun pemilihan kepala daerah yang sangat umum.

Dalam sistem pilpres, kemungkinan banyak calon sudah diantisipasi dengan baik, sehingga syarat presidential threshold yang mendorong ke arah hadirnya sedikit calon, bahkan bisa calon tunggal, nyata-nyata bertentangan dengan sistem pilpres dua putaran tersebut.

Kedua, penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR lima tahun sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karenanya bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 terkait pemilu.

Pasal dalam konstitusi itu bukan saja menegaskan kontinuitas pemilu setiap lima tahunan, tetapi lebih mendasar dari itu adalah jaminan konstitusionalitas bagi rakyat untuk memperbarui mandat penyelenggara negara baik di presiden maupun parlemen.

Mendasarkan syarat capres dari hasil pemilu DPR lima tahun sebelumnya, yang amat mungkin sudah kadaluwarsa secara politik, adalah langkah yang menghilangkan prinsip elementer pemilu agar rakyat pemilih bisa melakukan pembaruan mandat tersebut.

Saya tidak menemukan satu negara pun di dunia yang menerapkan syarat presidential threshold berdasarkan hasil pemilu parlemen lima tahun sebelumnya.

Ketiga, Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur “syarat” ambang batas untuk parpol dapat mengusulkan pasangan capres bertentangan dengan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, yang hanya mendelegasikan pengaturan “tata cara”.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPU Tegaskan Caleg Terpilih Wajib Mundur jika Maju Pilkada 2024

KPU Tegaskan Caleg Terpilih Wajib Mundur jika Maju Pilkada 2024

Nasional
Megawati Kirim 'Amicus Curiae' ke MK, KPU: Itu Bukan Alat Bukti

Megawati Kirim "Amicus Curiae" ke MK, KPU: Itu Bukan Alat Bukti

Nasional
KPK Tetapkan Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto Tersangka TPPU

Nasional
Menko Polhukam Sebut Mayoritas Pengaduan Masyarakat Terkait Masalah Agraria dan Pertanahan

Menko Polhukam Sebut Mayoritas Pengaduan Masyarakat Terkait Masalah Agraria dan Pertanahan

Nasional
Menko Polhukam Minta Jajaran Terus Jaga Stabilitas agar Tak Ada Kegaduhan

Menko Polhukam Minta Jajaran Terus Jaga Stabilitas agar Tak Ada Kegaduhan

Nasional
Bertemu Menlu Wang Yi, Jokowi Dorong China Ikut Bangun Transportasi di IKN

Bertemu Menlu Wang Yi, Jokowi Dorong China Ikut Bangun Transportasi di IKN

Nasional
Indonesia-China Sepakat Dukung Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Indonesia-China Sepakat Dukung Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Nasional
Setelah Bertemu Jokowi, Menlu China Wang Yi Akan Temui Prabowo

Setelah Bertemu Jokowi, Menlu China Wang Yi Akan Temui Prabowo

Nasional
Kasus Pengemudi Fortuner Pakai Palsu Pelat TNI: Pelaku Ditangkap, Dilaporkan ke Puspom dan Bareskrim

Kasus Pengemudi Fortuner Pakai Palsu Pelat TNI: Pelaku Ditangkap, Dilaporkan ke Puspom dan Bareskrim

Nasional
Saat Eks Ajudan SYL Bongkar Pemberian Uang dalam Tas ke Firli Bahuri...

Saat Eks Ajudan SYL Bongkar Pemberian Uang dalam Tas ke Firli Bahuri...

Nasional
Menlu Retno Bertemu Menlu Wang Yi, Bahas Kerja Sama Ekonomi dan Situasi Timur Tengah

Menlu Retno Bertemu Menlu Wang Yi, Bahas Kerja Sama Ekonomi dan Situasi Timur Tengah

Nasional
Soroti Kasus 'Ferienjob', Dirjen HAM Sebut Mahasiswa yang Akan Kerja Perlu Tahu Bahaya TPPO

Soroti Kasus "Ferienjob", Dirjen HAM Sebut Mahasiswa yang Akan Kerja Perlu Tahu Bahaya TPPO

Nasional
Mengkaji Arah Putusan MK dalam Sengketa Pilpres 2024

Mengkaji Arah Putusan MK dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Densus 88 Tangkap 7 Terduga Teroris Jaringan Jamaah Islamiyah di Sulawesi Tengah

Densus 88 Tangkap 7 Terduga Teroris Jaringan Jamaah Islamiyah di Sulawesi Tengah

Nasional
Mantan PM Inggris Tony Blair Temui Jokowi di Istana

Mantan PM Inggris Tony Blair Temui Jokowi di Istana

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com