Pertama, pemberian uang tersebut bukanlah didasarkan iming-iming. Jika masuk dalam kategori iming-iming agar bergabung dengan sebuah partai, misalnya, maka iming-iming itu bisa dilaporkan sebagai mahar politik.
Dalam Undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan soal larangan pemberian mahar politik bagi peserta pemilu. Ada sanksi denda dan pidana yang berlaku di sana.
Kedua, pemberian uang ini tidak juga termasuk dalam kategori gratifikasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi. Pasal gratifikasi bisa dikenakan jika penerimanya adalah penyelenggara negara.
Anggota DPR adalah penyelenggara negara. Lucky tercatat pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi PAN sebelum akhirnya pindah ke Nasdem.
Jika benar uang pemberian ini ada maka timing pemberian uang bisa menjadi subyek penyelidikan hukum.
Bila uang itu diberikan setelah resmi menjadi caleg namun partai tidak melaporkannya sebagai dana kampanye, ada konsekuensi hukum pidana pemilu yang dilanggar.
Sementara, jika uang itu diberikan setelah resmi menjadi caleg dan dilaporkan ke dalam dana kampanye partai, maka pemberian uang itu dianggap sah. Persoalannya tinggal besar dana kampanye itu. Undang-undang mengatur soal batasan maksimal penyumbang dana.
Upaya menyelamatkan “parliamentary treshold”?
Tak bisa dipungkiri, popularitas artis dan pesohor adalah modal untuk bisa dipilih. Mereka dicalonkan untuk melenggang ke DPR RI. Bukan tidak mungkin ini adalah upaya untuk menambah jumlah kursi demi menyelamatkan partai dari “kutukan” parliamentary treshold.
Jika partai tidak bisa memenuhi ambang batas perolehan kursi di DPR maka partai tidak bisa berkiprah di tingkat politik nasional lima tahun ke depan.
Terlepas dari ini semua, uang yang diberikan kepada caleg sesungguhnya sah jika sesuai aturan.
Meski pertanyaannya, jika uang sudah diberikan apalagi jumlahnya miliaran per orang, akankah sang pejabat legislatif nantinya memilih membela partainya atau warga yang telah memilihnya?
Bukan pilihan mudah…
Saya Aiman Witjaksono,
Salam.