Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Apresiasi Vonis Mantan Gubernur Sultra Diperberat Jadi 15 Tahun

Kompas.com - 20/07/2018, 19:43 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengungkapkan, pihaknya mengapresiasi vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat hukuman mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu diperberat hukumannya dari 12 tahun menjadi 15 tahun penjara di tingkat banding.

"Menurut kami hal tersebut adalah catatan positif yang bisa kita baca. Pertama, hakim mempertimbangkan rasa keadilan sehingga meningkatkan atau menambah masa hukuman terdakwa Nur Alam," kata Febri di gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (20/7/2018) sore.

Selain itu, KPK juga mengapresiasi pertimbangan hakim yang melihat keterangan saksi ahli Pengajar Fakultas Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Basuki Wasis.

Baca juga: Vonis Mantan Gubernur Sultra Nur Alam Diperberat Jadi 15 Tahun Penjara

Basuki merupakan saksi ahli yang menghitung adanya kerugian negara sebesar Rp 2,7 triliun akibat kegiatan pertambangan nikel yang dilakukan PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara.

Penghitungan kerugian itu didasarkan oleh kajian penelitian Basuki dan tim peneliti. Dari hasil penelitian, menurut Basuki, terdapat tiga jenis perhitungan.

Pertama, total kerugian akibat kerusakan ekologis. Kemudian, kerugian ekonomi lingkungan, dan yang ketiga menghitung biaya pemulihan lingkungan.

"Kami pandang ini penting karena saat ini secara paralel sedang berjalan gugatan perdata terhadap ahli tersebut. Jadi terdakwa mengugat ahli yang diajukan KPK ke pengadilan dalam gugatan perdata," kata Febri.

"Sementara dalam putusan banding ini kita tahu hakim justru mempertimbanhkan keterangan ahli sebelum menjatuhkan vonis," tuturnya.

Baca juga: Saksi Ahli dari IPB di Sidang Nur Alam Digugat, KPK-LPSK Beri Pendampingan Hukum

Selain hukumannya diperberat menjadi 15 tahun, Nur Alam juga diwajibkan membayar denda Rp 1 miliar.

"Menerima permintaan banding jaksa penuntut umum dan mengubah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta," ujar Kepala Humas Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Johanes Suhadi saat dikonfirmasi, Jumat (20/7/2018).

Putusan itu dibacakan pada 12 Juli 2018 oleh lima anggota majelis hakim. Adapun ketua majelis hakim dalam putusan banding ini adalah hakim tinggi Elang Prakoso Wibowo.

Selain itu, Pengadilan Tinggi juga menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama yang menghukum Nur Alam membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar.

Pengadilan juga mencabut hak politik Nur Alam selama 5 tahun setelah selesai menjalani masa pidana.

Sebelumnya majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menganggap Nur Alam terbukti menyalahgunakan wewenang selaku Gubernur dalam memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi.

Kemudian, Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).

Nur Alam terbukti merugikan negara sebesar Rp 1,5 triliun.

Kompas TV Gubernur Nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam divonis 12 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Nasional
Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

Nasional
Kubu Prabowo Sebut 'Amicus Curiae' Megawati soal Kecurangan TSM Pilpres Sudah Terbantahkan

Kubu Prabowo Sebut "Amicus Curiae" Megawati soal Kecurangan TSM Pilpres Sudah Terbantahkan

Nasional
BMKG Minta Otoritas Penerbangan Waspada Dampak Erupsi Gunung Ruang

BMKG Minta Otoritas Penerbangan Waspada Dampak Erupsi Gunung Ruang

Nasional
Demokrat Tak Resisten jika Prabowo Ajak Parpol di Luar Koalisi Gabung Pemerintahan ke Depan

Demokrat Tak Resisten jika Prabowo Ajak Parpol di Luar Koalisi Gabung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Nasional
Aktivis Barikade 98 Ajukan 'Amicus Curiae', Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Aktivis Barikade 98 Ajukan "Amicus Curiae", Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Nasional
Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Nasional
KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Nasional
Apa Gunanya 'Perang Amicus Curiae' di MK?

Apa Gunanya "Perang Amicus Curiae" di MK?

Nasional
Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Nasional
Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com