KOMPAS.com — Perjalanan haji dengan menggunakan transportasi udara di Indonesia dimulai sejak 1952.
Sebelum tahun itu, para jemaah haji dari Indonesia ke Arab Saudi menggunakan jalur laut dan menghabiskan waktu sekitar 1 bulan di perjalanan.
Setelah perkembangan moda transportasi, pemerintah mulai melirik perjalanan haji via udara dengan waktu tempuh yang jauh lebih singkat, yaitu 9 jam.
Pada 1950-an, pemerintah mencatat, umat Muslim Indonesia yang mampu berangkat haji sekitar 10.000 orang, ditambah mereka yang berangkat secara mandiri.
Kemudian, dibentuklah perusahaan pelayaran PT Pelayaran Muslim pada 1952.
Baca juga: Kisah Kapal Haji pada Masa Lalu: Ambulombo
Perusahaan tersebut satu-satunya panitia haji yang memberlakukan transportasi melalui udara.
Sejak itu, jemaah haji mempunyai pilihan, apakah menggunakan jalur udara atau jalur laut.
Untuk transportasi udara, biaya yang dikeluarkan jemaah haji adalah Rp 16.691. Tarif ini dua kali lipat lebih mahal dari tarif kapal laut saat itu, yaitu Rp 7.500.
Pada 1952, tercatat jemaah calon haji yang berangkat berjumlah 14.324 orang. Rinciannya, yang menggunakan kapal laut sebanyak 14.031 orang dan pesawat 293 orang.
Setelah berkembangnya PT Pelayaran Muslim, pemerintah akhirnya membuat sebuah lembaga usaha yang mengatur perjalanan melalui jalur laut pada 1964.
Perusahaan itu adalah PT Arafat, yang memfasilitasi jemaah calon haji yang ingin melakukan perjalanan dengan kapal.
Dalam perjalanannya, pada 1970-an penggunaan pesawat udara lebih mendominasi karena biayanya yang tidak jauh berbeda dengan kapal.
Dikutip dari harian Kompas, 1 Oktober 1970, tarif perjalanan haji melalui udara sebesar Rp 380.000.
Baca juga: Dari Tampomas hingga Abeto, Kapal Laut yang Pernah Angkut Jemaah Haji Indonesia ke Jeddah
Pada 1973, pelaksanaan pemberangkatan jemaah calon haji menggunakan DC-10 Garuda Indonesia.
Pesawat ini mempunyai 22 kursi di kelas VIP dan 247 kursi kelas ekonomi.