JAKARTA, KOMPAS.com - Sebuah pesan berantai beredar di grup percakapan Whatsapp selama beberapa hari terakhir soal imbauan untuk melaporkan kepada pihak terkait jika menjumpai atau mengetahui adanya rumah potong anjing karena hal itu disebutkan sebagai tindakan ilegal dan melanggar hukum.
Pesan ini diikuti sejumlah link peraturan mengenai larangan pemotongan dan konsumsi anjing yang bukan termasuk bahan pangan.
Kompas.com mengonfirmasi kebenaran soal isi pesan berantai ini kepada Direktorat Jenderal Kesehatan Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian (Kementan).
Menurut Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjen PKH Kementan, Drh. Syamsul Ma'arif, daging anjing memang tidak termasuk produk konsumsi.
Hal itu tertuang dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 Pasal 1 Ayat (1) tentang Pangan.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
“Jika merujuk pada definisi ini (UU 18/2012), maka daging anjing tidak termasuk kategori pangan karena anjing tidak termasuk kategori produk peternakan ataupun kehutanan,” kata Syamsul saat dihubungi Kompas.com, Selasa (17/7/2018).
Baca juga: Ingat, Daging Anjing Bukan Bahan Pangan untuk Dikonsumsi!
Menurut Syamsul, tantangan terbesar di Indonesia saat ini, masih ada kelompok masyarakat di daerah-daerah tertentu yang mengonsumsi bahkan mendukung konsumsi daging anjing.
“Pemerintah perlu berhati-hati dalam mengatur hal (pelarangan konsumsi daging anjing) tersebut,” ujar Syamsul.
Salah satu strategi yang dilakukan pemerintah adalah mengubah persepsi budaya lokal yang tertanam di masyarakat.
Hal itu dapat dilakukan melalui pendekatan atau edukasi pada generasi muda bahwa daging anjing bukan untuk dikonsumsi karena berisiko terhadap kesehatan.
“Perubahan dapat dicapai meskipun secara bertahap. Langkah ini perlu untuk didukung oleh semua pihak dan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah,” kata dia.
Pemerintah membatasi perdagangan daging anjing dengan terus berkomitmen membangun kerja sama dengan para pemangku kepentingan misalnya dinas, LSM, dan masyarakat.
Baca juga: Isi Surat Selebritas Dunia kepada Jokowi soal Perdagangan Daging Anjing
Hal itu dilakukan agar sosialisasi dan advokasi kepada masyarakat tetap tersampaikan dengan baik.
Dengan demikian, risiko penyakit zoonosa (berasal dari binatang) dan jeratan hukum dapat diminimalisasi oleh semua pihak.