Hukum terkait pelanggaran kesejahteraan serta upaya pengendalian dan pemberantasan penyakit pada hewan dilakukan pemerintah bekerja sama dengan PDHI melalui Rancangan KUHP sehingga pidana yang ditetapkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Pelanggaran terkait perdagangan anjing
Ada dua jenis pelanggaran terkait proses perdagangan anjing sebagai produk konsumsi sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Pertama, proses pemotongan anjing yang dilakukan dengan aniaya dan cara menyakitkan melanggar kesejahteraan hewan dapat dikenai Undang-Undang No. 41 Tahun 2014 Pasal 91B dan 302 KUHP.
Selain itu, penjualan anjing/daging anjing dari daerah terinfeksi rabies ke daerah yang masih dinyatakan bebas dari rabies, dapat dikenai sanksi pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.
Hal itu sesuai Undang-Undang No 18 Tahun 2009 Pasal 46 Ayat (5) tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan atau denda minimal Rp 150 juta dan maksimal di angka Rp 1 miliar sesuai dengan Pasal 89 Ayat (2) undang-undang yang sama.
Baca juga: Koalisi Dog-Meat Free Indonesia Kampanye Melawan Bisnis Daging Anjing di Solo
Pelarangan perdagangan dan konsumsi daging anjing di Indonesia pada dasarnya mempertimbangkan aspek kesehatan masyarakat.
Anjing tidak tergolong pada jenis binatang ternak dan hidup secara liar dengan makanan dan lingkungan yang tidak terjamin kebersihannya.
Hal ini dikhawatirkan menjadi pintu masuk bagi penyakit-penyakit tertentu kepada manusia yang mengonsumsi dagingnya.
Selain itu, berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Potong Hewan (RPH), anjing tidak disebutkan sebagai salah satu binatang ternak yang bisa disembelih di RPH.
Hewan potong adalah sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, babi,burung unta dan hewan lain yang dagingnya lazim dan layak dimakan manusia.